
Oleh:
Prof. Fory Armin Naway
Guru Besar Universitas Negeri Gorontalo dan Ketua PGRI Kab. Gorontalo
1 Syawal dalam kesejatian dan idealnya, tidak hanya dipnadang sebagai momentum kembalinya umat Islam kepada fitrahnya seperti bayi yang baru lahir, suci dan terbebas dari dosa setelah menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh, tapi juga dapat dipandang sebagai momentum untuk berikrar menjadi insan yang mutaqin.
Secara sederhana dapat dimaknai, bahwa 1 syawal sebagai “starting point” untuk bertekad tidak akan mengotori kehidupan dengan noda dan dosa setelah dibersihkan selama bulan puasa. Itu artinya, mengerjakan segala yang diperintahkan dan meninggalkan segala larangan-laranganNya selama bulan puasa dapat terus dilakoni oleh umat Islam selama 11 bulan berikutnya dengan starting pointnya pada 1 syawal.
Hal itu sejalan dengan makna bahasanya sendiri. Yakni syawal selain dimaknai sebagai bulan kemenangan, juga sebagai bulan peningkatan, yakni bulan dimana setiap umat Islam dapat meningkatkan amal ibadahnya berkat tempaan selama bulan suci Ramadhan. Dengan demikian, syawal merupakan momentum untuk memantapkan tekad dalam menjaga konsistensi atau “istiqamah” dalam menjaga kemenangan itu agar umat Islam tampil sebagai insan yang mutaqin.
Dalam perspektif yang lain disebutkan, bahwa kualitas iman, amal dan ibadah seorang muslim pada syawal dan bulan-bulan berikutnya, baik ibadah yang berdimensi Hablun Minallah, Hablun Minanas dan Hablun Minal ‘Alam merupakan indikator apakah orang tersebut “menemui” ibadah puasa di bulan Ramadhan atau tidak. Oleh karena itu, bulan Syawal juga merupakan bulan untuk merefleksi kualitas ibadah di bulan suci Ramadhan.
Salah satu instrumen penting yang menjadi rujukan dari perspektif ini, adalah sungguh merugi, jika puasa Ramadhan hanya dilewatkan begitu saja, sementara tidak ada jaminan akan menemui bulan puasa Ramadhan di tahun berikutnya. Juga, sungguh sia-sia jika pada bulan puasa kualitas ibadah seseorang mencapai puncak klimkasnya, namun hal itu tidak dijaga dan dirawat di bulan-bulan berikutnya hingga menemui ajal dan tidak menemui lagi bulan puasa pada tahun berikutnya.
Dalam manifestasi kehidupan seorang Muslim, segala bentuk ibadah, baik yang berdimensi Hablun Minallah, Hablun Minanas dan Hablun Minal “Alam mengandung nilai-nilai yang kesejatiannya untuk kepentingan umat Islam sendiri, baik secara personal mapun secara jamaiatul, bahkan menjadi instrumen penting dalam menggapai kejayaan Islam sebagai risalah yang membawa kepada “Rahmatan Lil “alamiin.
Ibadah yang berdimensi “Hablun Minallah”, meski dikenal sebagai kesalehan individu atau ibadah Mahdhah yang bersifat vertikal, namun hal itu akan menjadi asbab terbangunnnya konstruksi kejayaan Islam sebagai Rahmatan Lil “alamiin atau menjadi sumber keberkahan dan Rahmat bagi seru sekalian alam.
Dalam ranah praktisnya ibadah yang berdimensi Hablun Minallah meski merupakan manifestasi dari kesalehan individu dengan sang Khaliknya, namun sebagai makhluk sosial maka kesalehan individu itu akan membawa pengaruh yang besar bagi orang lain, bagi agamanya, bangsa dan negaranya.
Oleh karena itu, ibadah yang berdimensi “Hablun Minallah” seperti ibadah Sholat lima waktu misalnya, tidak sekadar rutinitas menggugurkan kewajiban individu kepada sang Khaliknya, tapi Sholat itu ditegakkan, didirikan dan diterjemahkan dalam sendi-sendi kehidupan di tengah masyarakat.
Sholat misalnya, mengajarkan tentang tertib, ketenangan dan gerakan-gerakannya yang indah. Keseluruhan nilai-nilai pengajaran itu, kesejatiannya juga diaktualisasikan di tengah masyarakat, selalu tertib, bersikap tenang dan memancarkan sifat-sifat yang indah yang dapat menyejukkan hati bagi orang di sekitarnya.
Dalam konteks ini dapat dimaknai, bahwa kualitas Hablun Minallah sejatinya dapat menjadi asbab tercetusnya kualitas ibadah yang berdimensi Hablun Minanas dan Hablun Minal ‘Alam. Jika ibadah yang berdimensi Hablun Minallah yang cenderung dirawat dan dijaga dengan baik, sementara ibadah yang berdimensi sosial dan ibadah yang berdimensi alam terabaikan, maka kualitas ibadah yang berdimensi Hablun Minallah tersebut, jelas belum mencapai pada hakekat yang sesungguhnya.
Jika dikorelasikan dengan kondisi dan realitas bangsa saat ini, dimana masih terjadi kesenjangan ekonomi yang demikian besar, kerusakan alam dan lingkungan yang terus menjadi persoalan bangsa, maka fenomena kesalehan individu dalam ibadah yang berdimensi Hablun Minallah masih penting untuk ditelaah dan direkontruksi kembali dalam kerangka memanifestasikan kecintaan kepada bangsa.
Salah satu makna dari kata “fitri” yang berarti kesucian yang melekat pada hari Raya Idul Fitri yang dirayakan pada 1 Syawal, menurut Prof Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat., merupakan gabungan dari tiga unsur, yakni (1) benar, (2) baik, dan (3) indah.
Karenanya, Idul Fitri 1 Syawal menjadi momentum bagi setiap Muslim untuk memantapkan niat dan tekad untuk tetap istiqomah dalam berbuat benar, baik, dan indah sebagai bentuk kembali kepada kesuciannya. Bahkan, dengan kesucian jiwa itu, seseorang dapat memandang setiap ibadah yang dijalankan, tetap berada pada prinsip-prinsip yang benar sehingga menyentuh aspek yang bersifat substantif, bukan sekadar seremonial atau ritual belaka.
Merujuk pada kondisi dan realitas bangsa saat ini, maka meningkatnya “kesalehan individu” dalam ibadah yang berdimensi Hablun Minallah sangat penting untuk dimaknai kembali agar mampu menggapai pada “hakekat” yang sesungguhnya. Dengan begitu, maraknya kesalehan individu akan berdampak terhadap perbaikan-perbaikan sendi-sendi kehidupan sosial di masyarakat, termasuk terpeliharanya alam dan lingkungan yang lestari. Paling tidak, dengan kesalehan individu pada ibadah yang berdimensi Hablun Minallah akan menjadi instrumen penting untuk membuktikan bahwa Islam adalah Rahmatan Lil ‘alamiin” yang membawa rahmat bagi seru sekalian alam. Termasuk dapat membawa bangsa ini ke arah yang lebih maju dan berjaya lagi. Semoga (***)