GORONTALO – Putusan Praperadilan nomor :
02/Pid.Pra/2018/PN/TMT yang dipimpin Hakim Tunggal Irwanto, SH menimbulkan
berbagai tafsiran dikalangan masyarakat. Tidak sedikit yang membacanya secara
kasat mata, tanpa mempertimbangkan pandangan dari pengamat atau ahli hukum.
Direktur Pusat Kajian Hukum Universitas Patria Artha
Makassar, Soewitno Kadji, kepada media ini menyatakan pendapatnya dari aspek
hukum.
Menurutnya, kajian hukum atas Keputusan Praperadian tersebut dalam Petitum
Pemohon, memohon agar Judex fakti menyatakan SP3 dibatalkan demi
hukum/tidak sah. Dan perkaranya dilakukan penyidikan kembali. Menurutnya, yang
dikabulkan hanyalah SP3 dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh judex fakti,
sebab terbukti adanya pelanggaran prosedur formil KUHAP dalam hal proses
penyelidikan dan penyidikan. Dan tidak mengabulkan permohonan untuk dilanjutkan
penyelidikan dan penyidikan (pasal 82) tidak dikabulkan, sebab judex fakti
telah mempertimbangkan konsekwensi pasal 78 tentang kadaluarsanya kasus yang
dikenakan Pasal 351 ayat 1 dengan ancaman Pidana 2 tahun 6 bulan yang
daluarsanya 6 tahun.
“Pasal 78 artinya apa? Dengan tidak dikabulkannya permohonan
Pasal 82 oleh judex fakti, maka putususan judex fakti yang membatalkan SP3 ini,
tidak dapat dilakukan lagi penyidikan dibuka dan dilanjutkan kembali. Dengan
demikian, adanya Pasal 78 ini pula status tersangka tidak dapat disematkan lagi
kepada H. Darwis Moridu, pasca putusan Praperadilan ini,†tegas Soewitno Kadji.
Demikian halnya pendapat ahli Hukum Pidana, Apriyanto Nusa,
SH., MH mengatakan terkait dengan keputusan Praperadilan, terhadap penerapan
Pasal 351 ayat 1 menunjukan bahwa kasus ini tidak bisa dilanjutkan lagi atau
tidak bisa digelar penyidikan lagi, karena melewati batas kadaluarsanya yakni 6
tahun sejak perkara ini digelar.
“Keputusan Hakim disatu sisi membatalkan SP3 tetapi disisi
lain perkara ini tidak bisa dibuka dan dilanjutkan lagi. Penerapan Pasal 351
ayat 1 memiliki batas waktu kadalursanya yakni 6 tahun. Dengan demikian perkara
ini tidak bisa dilanjutkan lagi penyidikannya atau tidak bisa digelar,†ungkap
Apriyanto Nusa, SH., MH yang saat ini sedang menyelesaikan program Doktor di
Universitas Brawijaya Malang.
Dijelaskan Apriyanto, hukum Pidana menjadi sarana terakhir
ketika upaya hukum lain tidak terpenuhi.
“Jika hukum kekeluargaan itu dipandang efektif dan dipandang
sebagai bentuk keadilan hukum dan masing-masing pihak merasa terpenuhi keadilannya,
maka hal ini sudah cukup untuk menghentikan perkara,†ungkap Apriyanto yang
menggambarkan jika pihak keluarga dalam hal ini istri korban tidak merasa
keberatan dan para pihak telah bersepakat berdamai.
“Ini
merupakan kekuatan hukum untuk perkara ini tidak dilanjutkan lagi,†tegas
Apriyanto Nusa yang banyak mengambil keterangan dari istri korban saat berada
di gedung Pengadilan Negeri Tilamuta.(*)
Laporan : Jaringan Serikat Media Saiber Indonesia (SMSI) Provinsi Gorontalo / RT/ MM