Oleh :
Prof. Fory Armin Naway
Ketua ICMI dan Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo.
Istilah “Nyinyir” di era media sosial (medsos) saat ini demikian terkenal. Apalagi dalam situasi-situasi tertentu, seperti masa-masa kampanye politik saat ini, fenomena hadirnya para “nyinyires” sudah pasti menggejala dalam berbagai bentuk ekspresi di mana saja kapan saja dan dengan menggunakan media yang beragam. Jika diidentifikasi, sikap nyinyir biasanya muncul sebagai bentuk respon atau reaksi dari seseorang terhadap orang lain yang tengah berbuat, bersikap, bertindak, berbicara atau menyampaikan sesuatu.
Sebenarnya, istilah “nyinyir” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan kata sifat yinyir diartikan sebagai sikap seseorang yang mengulang-ulang perintah atau permintaan atau dapat dikategorikan sebagai orang cerewet yang menyebalkan.
Hanya saja dalam perspektif para netizen atau generasi millenial yang muncul di era internet dan media sosial, istilah “nyinyir” telah berkembang yang diidentifikasikan kepada seseorang yang suka mengkritik, mengejek, menyindir, meremehkan bahkan merendahkan orang lain terus-menerus dengan perkataan maupun bahasa tubuh yang menyakitkan. Dengan begitu, istilah “nyinyir” merupakan respon negatif berupa perkataan menyakitkan seseorang terhadap orang lain yang dipicu oleh berbagai alasan.
Dalam ilmu psikologi, suka nyinyir kepada orang lain dikategorikan sebagai sebuah sikap dan tindakan yang disebabkan oleh “gangguan mental” yang harus diobati. Karena merupakan bagian dari gangguan mental, maka orang yang selalu nyinyir memiliki energi negatif yang dapat menyebabkan orang itu mudah dihinggapi oleh penyakit.
Itu artinya, orang yang selalu nyinyir memiliki gangguan jiwa yang sulit berpikir positif dam cenderung sulit merasakan kebahagiaan. Sementara kebahagiaan pada sisi yang lain sangat berpengaruh terhadap sel-sel tubuh. Semakin berbahagia seseorang maka elektron-elektron tubuhnya akan bereaksi secara positif yang dapat berpengaruh terhadap detak jantung, tekanan darah dan lain sebagainya.
Oleh karena itu dalam aspek-aspek tertentu, sering dijumpai, ketika seorang dokter mengobati seseorang yang mengidap penyakit tertentu memberikan tambahan terapi “kejiwaan” seseorang,misalnya tertawa, tersenyum, memperdengarkan lagu yag syahdu dan merdu serta memberikan muatan-muatan kata atau kalimat yang merangsang seseorang untuk berpikir positif, bersyukur dan merasa bahagia. Semua itu diyakini akan berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Metode terapi seperti itu sejalan dengan muatan pesan agama yang mengajarkan tentang pentingnya membebaskan diri dari “penyakit hati”. Sebagaimana hadits Nabi Muhamad SAW “Sesungguhnya pada diri manusia itu ada segumpal daging (mudhghah) yang apabila daging itu baik, maka baiklah tubuh seluruhnya. Dan apabila ia rusak, maka akan rusaklah segala perbuatan dan aktivitasnya. (HR. Muslim).
Dalam ranah realitasnya, fenomena nyinyir tidak mengenal status sosial, bisa diidap oleh siapapun dengan ruang lingkup kehidupan dalam lingkungan teman , sahabat, dalam lingkungan kerabat-keluarga, bertetangga, berdaerah bahkan bernegara sekalipun. Ketika ada tetangga sebelah yang beli kulkas, motor bari bahkan mobil baru misalnya, maka terkadang mengundang “nyinyiran” dari tetanggal lainnya “ah paling juga kredit”. Ketika ada teman yang diterima jadi ASN, nyinyiran teman lainnya tidak jauh dari kata “ah paling juga KKN”,nyogok dan sebagainya. Ketika ada teman atau kerabat mulai sukses dan kaya, si tukang nyinyir sudah pasti ada-ada saja ungkapan bernada nyinyiran yang terucap.
Bahkan dalam dunia politik yang digeluti oleh mereka yang terdidik sekalipun, nyinyiran akibat belum “move on” dari persaingan politik terkadang menggejala yang pada akhirnya memunculkan friksi, saling menyindir, saling menjatuhkan dengan bebagai ungkapan yang bernada nyinyiran.
Karena suka nyinyir merupakan gejala gangguan mental dan kejiwaan, maka banyak ahli merekomendasikan bagi mereka yang sudah akut untuk mendapatkan terapi psikologi. Alternatif lainnya adalah, perilaku nyinyir juga bisa dikendalikan melalui latihan untuk “kontrol emosi”, belajar untuk mengurangi berbicara dan lebih banyak mendengar, berlatih untuk menerima kelebihan orang lain,mengakui dengan jujur kekurangan diri sendiri. Kuncinya adalah berpikir positif.
Sikap nyinyir pada dasarnya merupakan tindakan destruktif yang tidak hanya berdampak terhadap mentalitas dan kejiwaan seseorang, tapi juga akan berdampak lebih luas bagi kesehatan. Ada ungkapan yang mengatakan “yang darimu adalah milikmu”, maka sikap nyinyir yang hanya menyinggung, menyindir dan menyakiti orang lain akan tetap kembali pada si empunya.
Apalagi pada situasi suhu politik yang cukup tinggi saat ini, maka kompetisi untuk merebut simpati dan suara rakyat tidak harus saling melempar “nyinyiran”,melainkan adu gagasan yang konstruktif dalam kerangka mewujudkan politik yang mencerdaskan dan mencerahkan.Hakekat politik adalah membangun kerangka berpikir yang elegan untuk membangun bangsa yang lebih baik dari masa ke masa.
Salah satu hikmah dari istilah “nyinyir” melalui definisi yang berbeda yang tercetus dari kaum milenial, menjadi sisi lain yang menarik, bahwa “senior-senior” yang sejatinya menjadi sumber keteladanan dapat memancarkan semangat untuk mengeliminir fenomena “nyinyiran” di tengah masyarakat. Siapapun kita memiliki andil dan peran yang sama untuk merekonstruksi bangunan kebangsaan yang lebih beradab dengan mengimbangi fenomena nyinyiran yang merebak di masyarakat antar personal,antar tetangga, antar kerabat agar tidak menjadi fenomena yang dapat memunculkan opini yang tidak tidak elegan terhadap daerah Gorontalo yang dikenal sebagai daerah adat.(***).