Pilrek UNG baru saja selesai, sudah menjadi rahasia umum siapa kandidat yang menang dan siapa kandidat yang kalah. Saya tidak begitu tertarik membicarakan kemenangan atau pun kekalahan dari masing-masing kandidat, apalagi berlabuhnya suara Menristekdikti kesalah satu kandidat. Karena ada sudut pandang yang tidak bisa kita baca menggunakan mata kepala, namun juga dengan menggunakan mata hati. Terlepas dari itu semua siapapun yang terpilih menjadi Rektor UNG adalah sebuah takdir yang sudah Allah catatkan di lauhul mahfuz semenjak dunia ini diciptakan.
Masih melekat dalam pikiran ini sebuah kejadian yang cukup memilukan beberapa tahun silam, sebuah kecelakaan udara yang merenggut semua nyawa penumpangnya (tanpa terkecuali Pilot dan awak kabin). Tidak perlu menyebut nama maskapai penerbangannya. Berawal dari sebuah kesalahan manusia (baca : mistake bukan human error), kecil tapi berdampak cukup besar.
Adalah sebuah pesawat besutan pabrikan Boeing seharga 50 juta US Dollar, jatuh setelah beberapa menit lepas landas, hanya karena sebuah selotip seharga 50 Sen. Kecelakaan ini diakibatkan lubang kecil dibawah bangku pilot yang di selotip oleh petugas darat sehingga pesawat tidak mampu membaca ketinggian saat terbang. Maka jatuh dan berdukalah seluruh negeri yang notabene separuh penumpangnya berasal dari warga negara dari negeri tersebut.
Sebagai seorang akademisi pembelajar kita mestinya harus mengambil hikmah dari setiap kejadian yang kita temui didalam kehidupan ini. Kemenangan ataupun kekalahan jangan sampai menjadikan kita seperti petugas darat yang tanpa sadar menselotip lubang kecil pesawat seperti kejadian pesawat Boeing tersebut. Kecil memang tapi akan berakibat fatal. Akademisi UNG harus segera melakukan recovery dirinya masing-masing dan bersatu untuk mewujudkan Visi UNG menjadi Leading University di Asia Tenggara.
(Ahmad Fadhli)