TATIYE.ID – Hak setiap warga negara terkait kesehatan menjadi hak universal di dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan hak yang dilindungi serta diamanahkan oleh Konstitusi Negara UUD RI tahun 1945 menjadi salah satu dasar penolakan akan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan (Omnibus Law) oleh Organisasi Profesi (OP) di Provinsi Gorontalo.
“Jelas dalam UUD RI tahun 1945 pasal 34 ayat (3. Negara dalam hal ini pemerintah menjadi aktor utama dalam menjalankan tanggung jawab ini. Namun dalam perubahan paradigma goverment menjadi governance, maka pemerintah memerlukan aktor lain yaitu pemangku kebijakan lainnya dan masyarakat. Dalam konsep governance menitik beratkan pada perimbangan peran – peran stakeholders dalam lahirnya kebijakan – kebijakan publik,” ungkap Ketua IDI Wilayah Gorontalo, dr. A.R Muhammad, Sp.PD. FINASIM, Senin (28/11/2022) usai audiens dengan DPRD Provinsi Gorontalo.
Dijelaskan dr. A.R Muhammad, situasi pandemi Covid-19 telah memberikan pelajaran dan peringatan kepada semua pihak bahwa permasalahan kesehatan tidak bisa diselesaikan sendiri oleh pemerintah, kolaborasi dan sinergisitas semua pemangku kesehatan harus dikedepankan untuk memperbaiki sistem kesehatan saat ini dan di masa depan.
“Sehubungan dengan penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas oleh DPR RI dimana salah satu Rancangan Undang – Undang (RUU) yang menjadi agenda pembahasan adalah RUU Kesehatan (Omnibus Law), kami organisasi kesehatan yang telah diakui dan menjalankan fungsi serta peran berdasarkan amanah di beberapa Undang – Undang lex specialis bidang kesehatan antara lain UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No. 38 tahun 2014 tentang keperawatan, UU No. 4 tahun 2019 tentang kebidanan,” jelasnya.
Berikut empat poin penting alasan penolakan RUU Kesehatan (Omnibus Law) ;
- Kebijakan kesehatan harus mengedepankan jaminan hak kesehatan terhadap masyarakat. Dalam menjamin praktik dari tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya, harus dipastikan kompetensi dan kewenangannya agar keselamatan pasien dapat tetap dijaga. Keberadaan organisasi profesi beserta seluruh perangkatnya yang memiliki kewenangan dalam menetapkan kompetensi profesi kesehatan, seharusnya tetap dilibatkan oleh pemerintah dalam merekomendasikan praktik keprofesian di suatu wilayah.
- Hal paling urgent yang saat ini harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki sistem kesehatan yang secara komprehensif berawal dari pendidikan hingga kepelayanan. Sekian banyak tantangan seperti persoalan penyakit – penyakit yang belum tuntas diatasi (misalnya TBC, gizi buruk, kematian ibu – anak/ KIA, penyakit – penyakit triple burden yang memerlukan pembiayaan besar), pembiayaan kesehatan melalui sistem JKN, dan pengelolaan data kesehatan di era kemajuan teknologi serta rentannya kejahatan siber, haruslah dihadapi dengan melibatkan stakeholder dan masyarakat.
- Pada 2016 WHO menerbitkan dokumen Global Strategy on Human Resources for Health Workforce 2030 sebagai acuan bagi pembuat kebijakan negara – negara anggota dalam merumuskan kebijakan tenaga kesehatan. Pemangku kepentingan yang dimaksud dalam dokumen ini bukan hanya pemerintah, tetapi juga pemberi kerja, asosiasi profesi, institusi pendidikan, hingga masyarakat sipil. Hal ini sejalan dengan prinsip governance, dimana pemerintah melibatkan secara aktif pemangku kebijakan lain. Isu pemerataan dan kesejahteraan tenaga kesehatan haruslah menjadi prioritas saat ini.
- Demi mengedepankan kepentingan masyarakat dan keselamatan pasien yang lebih luas, kami bersepakat MENOLAK RUU Kesehatan ( Omnibus Law ) dan mendesak agar Pemerintah maupun DPR lebih aktif melibatkan organisasi profesi kesehatandan unsur masyarakat lainnya dalam memperbaiki sistem kesehatan untuk masa depan Indonesia yang lebih sehat. (*)