Oleh: Prof. Fory Armin Naway
Ketua ICMI dan Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo.
TATIYE.ID (GORONTALO) – Masyarakat Kabupaten Gorontalo pada 26 November 2023 mendatang akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) daerah ini yang ke 350 tahun. Mungkin banyak diantara kita yang bertanya-tanya tentang hari kelahiran Kab. Gorontalo, apakah se tua itukah Kab. Gorontalo? Secara administratif pemerintahan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Kabupaten Gorontalo terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tanggal 4 Juli 1959 tentang pembentukan daerah-daerah di Sulawesi yang diterbitkan oleh Pemerintahan Soekarno.
Namun pada era Pemerintahan Bupati Imam Nooriman tahun 1993 dan berdasarkan hasil musyawarah- mufakat antara pemerintah Kab. Gorontalo kala itu dengan tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pendidik serta perwakilan berbagai elemen masyarakat, disepakati bahwa HUT Kab. Gorontalo merujuk pada aspek historis perjalanan “Pohala’a Limutu” sebagai bagian dari “Duluwo Limo Lo Pohalaa” di jazirah Gorontalo.
Hal itu dipandang penting untuk mengenang dan merawat sejarah keberadaan “Pohala’a Limutu” yang secara historis merupakan Pohala’a yang cukup berpengaruh dan memainkan peran yang cukup signifikan dalam sejarah peradaban masyarakat Gorontalo dari masa ke masa.
Pohala’a Limutu semenjak terbentuknya antara tahun 1310-1320 menurut catatan sejarah, merupakan Pohala’a yang memiliki wilayah kekuasaan teluas dibandingkan dengan Pohala’a lainnya di Gorontalo. Bahkan dalam sejarahnya, Pohala’a Limutu dalam aspek tatatanan peradatan dan pemerintahan tradisiinal di Gorontalo termasuk daerah “Duluwo U Mulo” atau termasuk Pohala’a terdahulu/tertua setelah Pohala’a Tuwawa (Suwawa).
Menurut catatan sejarah,Pohala’a Limutu terbentuk setelah 5 Linula kecil berserikat atau menyatukan diri ke dalam sebuah Linula besar yang selanjutnya diberi nama “Limutu” yang berasal dari padanan kata “U Limo Lo Mutu” atau U Limo Lo Putu” yang menyatukan diri. Kelima Linula itu adalah ; Linula Lemehuda’a, Linula Tomilito, Linula Dunito, Linula Dunggala dan Linula Hungayo.
Itulah awal mula sejarah terbentuknya Linula Limutu yang dalam perkembangannya telah mewarnai dinamika perjalanan dan peradaban masyarakat Gorontalo dari masa ke masa yang memiliki cakupan wilayah utara-selatan dan wilayah barat Gorontalo sekarang.
Dalam sejarah perjalanannya, Linula Limutu yang kemudian berubah menjadi Pohala’a Limutu menjadi pusat pelaksanaan Perjanjian Damai yang dikenal dengan Perjanjian Duluwo Limo Lo Pohala’a untuk mendamaikan konflik bersaudara antara Pohala’a Limutu dan Hulonthalangi yang telah terlibat konflik atau perang bersaudara selama ratusan tahun lamanya. Perjanjian ini berlangsung selama satu pekan dan puncaknya berlangsung pada 26 November 1673 Masehi yang diprakarsai oleh Olongia (Raja) Eyato dari Hulonthalangi dan Hohuhu Popa dari Limutu.
Setelah perjanjian ini, maka konflik bersaudara yang telah berlangsung ratusan tahun dan telah memakan korban yang tak terhitung jumlahnya tersebut, dapat diakhiri dan kedua linula/pohala’a bersaudara dan bertetangga itu kembali hidup berdampingan secara damai.
Bahkan lebih dari itu, berkat perdamaian itu, maka Limutu dan Hulonthalangi tampil bersatu sehingga mampu melakukan perlawanan terhadap masuknya bala tentara VOC Belanda yang datang hendak menjajah dan menguasai kekayaan alam Gorontalo sekitar 5 tahun setelah perjanjian Duluwo Limo Lo Pohala’a digelar, yakni sekitar tahun 1678.
Perlawanan masyarakat Hulonthalangi-Limutu yang paling sengit dan dicatat dalam sejarah adalah Perang Padengo yang dipimpin langsung oleh Raja Eyato dari Hulonthalangi dan Raja Biya dari Limutu. Pada perang melawan VOC Belanda tersebut, menurut catatan dari berbagai manuskrip kuno, Raja Eyato dan Raja Biya tertangkap oleh VOC Belanda. Raja Eyato diasingkan ke Ceylon di Srilangka dan Raja Biya diasingkan ke Afrika yang hingga kini tidak diketahui nasibnya.