#OPINI :
Oleh: Dahlan Pido, SH., MH. (Praktisi Hukum/Advokat)
Kejaksaan sebagai suatu lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, memiliki tugas mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Untuk menemukan unsur kerugian keuangan negara, maka bukti-bukti yang harus dikumpulkan oleh Kejaksaan tentu yang terkait dengan bukti-bukti terjadinya kerugian keuangan negara.
Terkait Kerugian Negara seperti ada dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999menyatakan:
Kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 22, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik kesengajaan maupun karena kelalaian.
Sehubungan dengan penilaian kerugian negara tersebut, Pasal 10 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Negara, menyatakan:
BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelas yang berwenang menghitung, menilai, dan/atau menetapkan kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang selanjutnya dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan sebagai keputusan BPK, bukan Kejaksaan.
Menurut penulis, untuk menentukan Korupsi di GORR (Gorontalo Outer Ring Road), Kejaksaan Tinggi harus berdasarkan hasil audit pemeriksaan BPK, dan didukung oleh keterangan ahli Pidana serta ahli yang terkait lainnya, sebagai salah satu alat bukti yang menyatakan bahwa pekerjaan GORR tersebut terindikasi dugaan korupsi sesuai ketentuan Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Selain kedua hal di atas, Kejaksaan Tinggi harus menyelidiki apakah prosedur dan dokumen pelaksanaan pengadaan tanah pembangunan ruas jalan lingkar luar Gorontalo atau Gorontalo Outer Ring Road (GORR) sudah sesuai atau belum, bagaimana kesiapan anggaran, siapakah Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah (sebagai Kuasa Pengguna Anggaran), siapa-siapa saja pelaksana pengadaan tanah, siapa yang menentukan nilai harga tanah (Appraisal) yang dilalui oleh pembangunan GORR, adakah sosialisasi dari Lurah/Kepala Desa kepada pemilik tanah bahwa tanahnya akan dilewati oleh pembangunan jalan GORR, adakah musyawarah atau sanggahan atau penolakan dari pemilik tanah Lurah/Kepala Desa, siapakah yang menetapkan nilai ganti untung kepada setiap lahan tanah/desa, adakah verifikasi pemberian ganti untung, adakah validasi pelepasan hak untuk masing-masing pemilik tanah kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo, terakhir adakah pemutusan hubungan hukum pemilik tanah yang kena lintasan pembangunan GORR.
Sehingga untuk menentukan jenis tindak pidana korupsi yang seperti yang disebutkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, yang dikenakan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 yang sering digunakan oleh Jaksa atau Penuntut Umum untuk menjerat orang yang diduga melakukan penyelewengan keuangan negara, dan kedua pasal di atas menjadi senjata ampuhnya Kejaksaan (Pasal Primadona).
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 milyar rupiah.
Lebih lanjut Pasal 3 menyebutkan, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun, dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 milyar.
Pada dasarnya kedua pasal di atas, sama-sama menjerat pelaku tindak pidana korupsi, namun perbedaannya, dalam Pasal 3 pelaku bisa dijerat jika mempunyai kewenangan, sedangkan pada Pasal 2, setiap orang yang dimaksud dalam pasal ini lebih luas dan umum.
Jika terjadi penyalahgunaan wewenang atau dugaan adanya korupsi, maka kepada siapakah posisi tersebut ?, jika hal itu terjadi, maka yang harus dilakukan penyidikan adalah mulai kepada penerima Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan seterusnya ke bawah yang dapat dimintakan pertaggugjawaban pidana, selama memenuhi audit BPK dan pendapat ahli yang menyatakan telah terjadi dugaan kerugian keuangan negara.
Menurut penulis, banyak kasus yang ketika dikaji sebenarnya bukan merupakan tindak pidana korupsi karena tidak adanya niat jahat (mens rea) untuk melakukan korupsi, tetapi adanya kesalahan prosedur administratif (mal adminstratie) yang diabaikan, karena ada azas dalam pidana yang menyatakan bahwa, “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahanâ€Â.(*)
Sekian dan salam Penulis,
Dahlan Pido, SH., MH.