Tumbilotohe Gorontalo: Dimensi Spritual, Kultural dan Ekonomi

Tumbilotohe dalam bahasa Gorontalo berarti pasang lampu. Kata ini begitu populer pada semua kalangan anak-anak, tua muda, orang Gorontalo maupun tidak bahkan sampai ke daerah-daerah lain dalam negeri bahkan luar negeri pada setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri karena berkaitan dengan suatu budaya pasang lampu di Gorontalo dan telah menjadi suatu event nasional dalam kalender Departemen Pariwisata Republik Indonesia.

Event ini memiliki daya pikat yang cukup tinggi sehingga setiap tahun menjadi salah satu alasan orang datang ke Gorontalo untuk pulang kampung bagi warga
Gorontalo rantau sekalian akan bersilaturrahmi dengan sanak familinya.

Demikian pula ada juga yang
sekedar ingin tahu khususnya bagi para turis domestik maupun manca negara yang berkunjung ke Gorontalo ingin menikmati perlehatan Tumbilotohe karena sarat dengan budaya yang tidak ditemukan pada daerahnya masing-masing. Menurut catatan beberapa pengamat pada setiap malam Tumbilotohe jalan-jalan cukup padat, hotel dan juga tempat perbelanjaan dipenuhi pengunjung dan tentunya secara ekonomi hal ini akan berdampak pada pergerakan ekonomi lebih bergairah.

Dampak selanjutnya adalah menaiknya daya beli masyarakat dan mesin ekonomi Gorontalo bisa berputar apalagi kalau mereka bisa tinggal beberapa lama di Gorontalo hingga hari raya ketupat suatu tradisi lain yang cukup menarik di Gorontalo yang diadakan seminggu setelah hari Raya Iedul Fithri. Penulis berupaya mencari referensi otentik tentang asal muasal munculnya budaya Tumbilotohe di Gorontalo, namun belum ada satu kata sepakat tentang munculnya budaya ini.

Umumnya orang berpandangan bahwa budaya pasang lampu muncul karena dulu di Gorontalo belum ada lampu penerang jalan seperti listrik sehingga orang yang
pergi ke mesjid, surau, rumah imam atau pada orang yang berhak lannya untuk membayar zakat fitrah khususnya pada malam ke 27 Ramadhan yang sangat diyakini malan itu akan turun Lailatul Qadar perlu lampu penerang jalan.

Penulis juga pernah mendapat penjelasan dari salah satu yang faham asal muasal pemasangan Tumbilotohe yaitu almarhum Ustaz Abd. Azis Hamid Pembina Majelis Zikir Nurul Hidayah Kota Gorontalo yang menjelaskan bahwa rujukan munculnya pemasangan Tumbilotohe adalah terdapat
pada firman Allah Surat Al Qadr (kemuliaan) yang terdiri atas 5 ayat.

Terjemahan dari ayat itu adalah:
(1) Sesungguhnya Kami telah menurunkan suatu malam kemuliaan, (2) Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?, (3) Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan, (4) pada malam itu turun para malaikat dan ruh dengan izin tuhannya untuk segala urusan, (5) memberikan penuh keselamatan dan kesejahteraan sampai terbit fajar. Orang-orang tua dulu di Gorontalo meyakini malam-malam ganjil mulai dari malam ke 27 Ramadhan sangat dijaga sebagai malam Lailatul Qadri.

Malam itu turun malaikat dan ruh akan membawa keselamatan bagi umat manusia. Malikat dan ruh senang akan wangi-wangian dan suasana terang sehingga perlu disambut dengan pemasangan Tumbilotohe yang bahan bakarnya dari yang wangi pula seperti minyak kelapa (Tohe Tutu).

Selain daripada itu pemasangan Tumbilotohe dilengkapi dengan symbol-simbol adat seperti Alikusu (Gapura Adat) yang melambangkan betapa masyarakat Gorontalo sangat menghayati dan menghormati dalam menyambut datangnya malam kemuliaan (Laiatul Qadri).

Alikusu dibuat dari bambu kuning berbentuk kubah yang melambangkan Hablul Minallah yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya. Atribut yang diisi di Alikusi adalah Tohe Butulu yang berjumlah sebanyak 5 lampu botol yang diletakkan di palang atas Alikusu yang menggambarkan kewajiban sholat 5 waktu sesuai dengan rukun Islam.

Cahaya lampunya diibaratkan cahaya Alquran yaitu cahaya penerang kehidupan dunia dan akhirat, Lale (janur kuning) melambangkan kesucian dan kemuliaan karena warna kuning tersebut diibaratkan logam mas yang mengkilap, Polohungo (bunga yang warna warni) yang diikat menjadi satu melambangkan kehidupan pribadi, maupun masyarakat pasti terdapat perbedaan namun dapat dipersatukan dalam pengamalan agama Allah SWT, Tabongo atau bunga lahikit memiliki makna sebagai penolak balak dari pengaruh-pengaruh yang jahat, Patodu (tebu) perlambang rezeki dan manusia diharapkan ramah, bersikap manis antar sesama, Lambi (pisang) melambangkan manusia harus bermanfaat bagi orang lain, Tohe Tutu (lampu damar) menggambarkan keaslian budaya suku Gorontalo, Tonggoloopo menggambarkan cahaya alquran yang akan menerangi kehidupan setiap pribadi manusia, Padamala (lampu minyak kelapa) perlambang lampu yang akan menerangi di akhirat. Selain daripada itu Alikusu dilengkapi dengan dupa dan harumharuman yang melambangkan kesucian.

Karena pemasangan tumbilotohe merupakan hal yang sakral bagi masyarakat Gorontalo maka pemsaangan pada malam pertama mengundang imam yang akan menyalakan lampu dengan membaca doa dan surat Al Qadr.

Sakralnya malam tumbilotohe adalah pada penyambutan para malaikat dan ruh yang turun ke dunia hingga terbit fajar memberi keselamatan pada umat manusia yang sedang beribadah dengan kemuliaan ibadahnya sama dengan 1000 bulan.

Oleh karena itu dianjurkan untuk perayaan tumbilotohe jangan mengabaikan nilai-nilai keluhuran ibadah selain faktor budaya. Misalnya dalam pemasangan lampu diutamakan lampu tradisional seperti Tohe Tutu berbahan bakar minyak kelapa. Lampu ini dinyalakan disumbu yang diletakkan pada popaya yang dibelah, atau ada juga yang terbuat dari bahan tradisional yang disebut dengan Padamala. Kebiasaan ini muncul sejak abad ke 15 masehi dan dilaksanakan secara turun temurun.

Penulis lahir dan sejak kecil hidup di Gorontalo dan pernah menyaksikan suasana malam Tumbilotohe yang dilaksanakan secara spontan oleh masyarakat sebelum dijadikan even budaya oleh pemerintah. Pada waktu itu esensi Tumbilotohe sangat sakral karena berkaitan dengan keyakinan perlu berjaga-jaga akan turunnya Lailatu Qadri mulai dari malam ke 27 dan seterusnya dari bulan suci ramadhan.

Di masyarakat Gorontalo terbagi atas dua golongan yaitu yang secara spontan ingin pasang tumbilotohe umumnya adalah dari kalangan warga NU dan yang tidak mau pasang dari kalangan warga Muhammadiyah atau juga dari non muslim. Secara kasat mata akan terlihat mana rumah yang dari NU
dan mana dari Muhammadiyah atau golongan non muslim.

Setelah Tumbilotohe menjadi event budaya dan dilombakan, maka Tumbilohe telah menjadi milik semua warga tanpa membedakan asal muasal keyakinan maupun golongan dan semua rumah, toko kantor pemerintah dan swasta selayaknya
memasang Tumbilotohe.

Diharapkan juga kepada para penceramah dan tokoh adat lebih menggali dan mengkaji hakekat tumbilohe dan disampaikan kepada umat sehingga masyarakat mengetahui nilai-nilai sakral tumbilotohe yang saat ini terus menerus mengalami pergeseran nilai. Kepada para penceramahlah dan tokoh adat kita berharap untuk selalu memberikan pencerahan kepada masyarakat untuk selalu mengingatkan dan mempertahankan sakralnya budaya Tumbilotohe Gorontalo sepanjang masa.

Penulis : Fahrudin Olilingo (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Gorontalo yang juga Ketua Pemberdayaan Ekonomi Umat MUI Provinsi Gorontalo)

Exit mobile version