“TUMBILO TOHE” DAN MERAWAT KEARIFAN GORONTALO

Oleh :
Prof. Fory Armin Naway
Guru Besar Universitas Negeri Gorontalo dan Ketua PGRI Kab. Gorontalo

Gorontalo bertabur Cahaya, itulah ungkapan yang tepat bagi daerah ini di setiap penghujung bulan Ramadhan atau 3 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri yang dimulai pada malam 27 Ramadhan hingga malam 29 Ramadhan atau 3 malam berturut-turut (La’i-la’ito Tolo huyi, pate-pate ngohuyi/terpasang 3 malam padam 1 malam).

Menurut catatan sejarah, tradisi malam Tumbilo Tohe tercetus pada abad XV setelah masuknya Islam di Gorontalo di era kepemimpinan Olongia Lo Hulonthalangi Ta Tohuliya Liyo bernama Olongia Amay yang selanjutnya digantikan oleh putranya bernama Matoldulakiki.

Pada awal kemunculannya, tradisi malam Tumbilo Tohe dimulai dari penggunaan batang daun kelapa kering yang dalam Bahasa Gorontalo disebut sebagai“wamuta” (seludung kelapa) yang diruncingkan. Jenis lampu ini disebut dengan “wango-wango”. Istilah ini menggambarkan suasana kegelapan (modiolomo menjadi terang (mobango) atau “babango”.

Seiring perjalanan waktu, pamor Wamuta digantikan oleh “Tohetutu” yang terbuat dari “Damahu” atau damar atau sejenis getah yang padat dan jika dipasang akan menyala cukup lama. Dari Tohetutu kemudian berkembang lagi dengan penggunaan lampu “padamala” yang terbuat dari berbagai bahan yang mudah ditemui. Diantaranya pepaya muda yang dipotong diisi dengan minyak kelapa dan dipasang bambu kecil (hulapa) yang diisi dengan sumbu yang terbuat dari kapas (Ti’opo) dan juga ada yang menggunakan kapuk (duyungo).

Lama-kelamaan “padamala” sudah menggunakan botol-botol kecil yang masih tetap menggunakan sumbu yang diisi dalam bulatan yang terbuat dari aluminium. Pada mulanya alat ini masih tetap menggunakan minyak kelapa dan selanjutnya berkembang menggunakan minyak tanah hingga sekarang ini.

Hanya saja pada zaman dulu, malam pasang lampu menggunakan Alikusu yang dipasang di setiap pekarangan atau di depan rumah penduduk yang dihiasi dengan berbagai tumbuhan, seperti tanaman “Polohungo”, tebu (patodu) bahkan ada yang menghiasinya dengan pisang, biasnya pisang (Lambi) “pagata”.

Dari berbagai perkembangannya tersebut menunjukkan, bahwa masyarakat Gorontalo termasuk tatanan masyarakat dinamis, kreatif dan memegang teguh tradisi yang diwariskan oleh leluhur-leluhur Gorontalo. Selain itu, bagi masyarakat Gorontalo, tradisi malam pasang lampu tidak hanya sekadar “menerangi jalan” bagi umat Islam agar tetap ke masjid maupun menerangi jalan untuk “moluhuta pitara” kepada para penerima zakat, melainkan lebih dari itu, malam pasang lampu mengandung nilai-nilai dan pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya.

Dari sekian banyak nilai-nilai yang terkandung dalam malam pasang lampu, diantaranya adalah “tinelo” yang artinya cahaya atau nur. Pada malam pasang lampu yang nota bene merupakan penghujung Ramadhan, oleh orang Gorontalo zaman dulu dpersepsikan sebagai finish atau “pengakhiran” yang baik sehingga tetap bergairah, bersemangat dan kuat agar jangan sampai ibadah puasa yang sudah 26 hari dijalankan tidak akan sia-sia hanya karena 3 hari yang teramat berat.

Pada malam tanggal 27 Ramadhan, diibaratkan seperti perjalanan hidup yang sudah berada pada senja yang akan segera terbenam. Pada saat senja itulah, justru “tinelo” nur (cahaya) illahi yang harus diperjuangkan dengan mati-matian untuk direngkuh untuk menerangi kehidupan di alam akherat. Dalam konteks yang lain, sikap istiqomah dalam meraih “tinelo” itu sangat penting, karena Ramadhan akan tetap ada di tahun berikutnya, namun kita sebagai manusialah yang belum tentu akan menemui Ramadhan pada tahun depannya.

Salah satu manisfestasi dari meraih “Tinelo” yang “berdaya besar” adalah “menjemput malam Lailatul Qadr dengan memperkuat ibadah yang berdimensi Illahiah (Hablun Minallah) dan berdimensi Hablun Minanas. Hablun Minallah dapat diwujudkan melalui gairah dan semangat untuk beritikaf di Mesjid pada penghujung Ramadhan dan dimensi Hablun Minanas adalah “moluhuta pitara” sebagai media pembersih noda yang melekat sehingga pada 1 Syawal setiap insan akan meraih predikat “kembali ke fitrah” yang diibaratkan sepeti bayi yang baru lahir, suci dan bersih dari noda dan dosa.

Untuk memperkuat semangat itulah, maka tidak heran jika dalam ornamen “Alikusu” dilengkapi “Polohungo” yang berasal dari padanan kata “polo’-polo’o o’hungo”. Polo-polo’o mengandung makna “perjuangan dan kerja keras agar hidup ini berbuah atau “o hungoliyo” Polohungo dengan demikian, mengajarkan tentang hakekat manusia yang harus “berbuah dan memberi manfaat bagi orang lain. Hal itu dipertegas lagi dengan sifat “pisang” yang “enggan mati” sebelum berbuah dan bermanfaat bagi orang lain.

Demikian pula dengan simbol Tebu atau Patodu yang mengambarkan tentang kehidupan manusia yang dari rasa hambar di bagian pucuknya akan tetapi semakin manis ketika menuju ke pangkalnya. Hal itu mengajarkan tentang hakekat manusia yang sejatinya semakin berumur semakin memperlihatkan “rasa manis” karena sudah dekat dengan asal muasalnya yang tercipta dari tanah.

Masih banyak lagi nilai-nilai dan pesan moral dari “tumbilo Tohe” yang diwariskan oleh leluhur Gorontalo sebagai nilai-nilai kearifan lokal yang harus tetap diabadikan dan dilestarikan. Patut dipertahankan dan dilestarikan, karena Tumbilo Tohe tidak hanya sekadar tradisi yang tak bermakna, tapi juga mengandung filosofi dan nilai-nilai pengajaran bagi generasi, kemudian menyuguhkan potensi ekonomi bagi masyarakat Gorontalo dan yang terpenting lagi kian mengukuhkan Gorontalo sebagai daearah yang memegang teguh tradisi dan adat-istiadat yang diwariskan oleh leluhur Gorontalo.
Itulah sebabnya, meski saat ini listrik sudah masuk ke pelosok-pelosok desa sekalipun, namun “alikusu” tetap penting untuk dilestarikan. Alikusu yang dihiasi dengan simbol-simbol tanaman kehidupan mengandung, bagaimanapun mengandung nilai-nilai pengajaran yang sangat penting menjadi bahan renungan, sumber pembelajaran dan rujukan bagi identitas dan jati diri orang Gorontalo dengan memegang teguh filosofi adat bersendikan syara’ dan syara’ bersenidkan Al-Qur’an.

Dengan begitu, Tumbilo Tohe tidak hanya sekadar dikemas untuk mengudang animo masyarakat dan para turis untuk berkunjung ke Gorontalo pada penghujung Ramadhan, tapi pesan-pesan spiritual tetap relevan untuk dimaknai oleh setiap generasi Gorontalo sampai kapanpun. Jika semua itu mampu kita tunaikan, maka pada momentum penghujung Ramadhan, “Gorontalo tidak hanya bertabur cahaya lampu, tapi yang lebih penting bertabur cahaya Illahi”. Semoga (***)

Exit mobile version