Transportasi Perkotaan Tanggung Jawab Siapa ?

TATIYE CHANNEL (GORONTALO) – Pertumbuhan ruang kota Gorontalo hingga abad ke-20 terus mengalami perubahan fungsi dan pergeseran struktur Kota, sejak peradaban awal orang Gorontalo. Menurut Marzuki, (2012) bahwa kondisi Morfologi Kota Gorontalo dimulai dalam dua fase. Dimana, awal mula sturuktur ruang ditata secara tradisional oleh setiap kerajaan dimasa lampau dan difase akhir kondisi struktur kota mengalami perubahan saat hindia belanda masuk dan merubah struktur kota yang lebih berpihak pada kondisi pemerintahan kolonial dikala itu. 


Penataan kota dimasa kolonial dibangun berdasarkan prinsip-prinsipnya kota kolonial yang mengacu pada dokumen perancangan Kota Law Of Indies pada tahun 1573. Yang mana sistem pola jalan kota membentuk grid. Membagi kota menjadi blok-blok kecil yang diadobsi sampai saat ini sebagai jaringan jalan kota, hal yang sama juga terjadi  untuk beberapa kota peninggalan kolonial di pulau Sulawesi.

Secara geografis kota Gorontalo berada di ketinggian  5 s/d 10 meter diatas permukaan laut, dengan kondisi geometrik yang relatif datar pola grid tidak menemui hambatan dalam aplikasinya. Namun demikian, pertumbuan transportasi yang terus meningkat menjadi tantangan tersendiri untuk struktur kota dewasa ini, banyaknya jumlah persimpangan menjadi titik konflik merupakan akar persoalan kesemrautan moda transportasi. Hal tersebut merupakan  pertemuan antara struktur kota dan problematika transportasi.

Beberapa kondisi yang juga mempengaruhi tingkat permasalahan transportasi ialah peningkatan jumlah kenderaan bermotor. Data Samsat Kota Gorontalo hingga tahun 2017 kemarin, tercatat sejumlah 83.021 Unit kenderaan berada di Kota Gorontalo. Bahkan tidak hanya itu, beberapa daerah yang berbatasan Kota Gorontalo langsung seperti Bonebol memiliki 29,645 kenderaan, Kabupaten Gorontalo 83.241 kenderaan, yang juga menjadi tantangan nyata. 

Kota Gorontalo-BoneBol-Limboto merupakan Kota yang satu sama lain terhubung secara kebutuhan dan saling menopang. Kita ketahui beberapa kebutuhan khusus masyarakat di dua wilayah tersebut masih menggantungkan beberapa pemenuhan kebutuhannya di kota Gorontalo seperti pendidikan, belaja dan hiburan, serta kunjungan keluarga. Tentu anggapan ini masih bersifat temporer dibutuhkan kajian khusus untuk mengeneralisasi permasalahan tersebut. Tetapi konsep tarikan suatu kota, menjadikan teori tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja.

Tantangan kondisi transportasi Kota Gorontalo semakin rumit jika merujuk pada data Gorontalo dalam angka tahun 2018, bahwa dalam 10 tahun terakhir dari 2007 hingga tahun 2017 jumlah warga kota Gorontalo  mengalami peningkatan sebesar 48.457 jiwa dengan tingkat kepadatan terbesar 3.196 jiwa per/km2, tetapi pada jam tertentu dipastikan meningkat seiring aktifitas dari dua kota tetangga, nilai kepadatan ini belum dihitung dengan tambahan pendatang dari Provinsi tetangga yang datang untuk berbagai kepentingan seperti menempuh pendidikan, wisata, dan mencari kerja, pertambahan penduduk tentu akan relevan dengan meningkatnya aktivitas transportasi hingga beberapa tahun terakhir.

Dalam sudut pandang spasial pola kota Grid, sebenarnya sangat cocok untuk meminimalisir pejalanan menjadi semakin jauh, sebab setiap sudut memiliki jarak yang relatif dekat dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Dengan demikian, kota dengan membentuk grid memiliki potensi besar untuk dibentuk menjadi kota yang hijau dan humanis, tentu karena rendahnya sumber emisi karbon dioksida (Co2) dari perjalanan bermotor (sektor transportasi).

Meskipun demikian pola kota grid pun mengalami beberapa tantangan dalam pengelolaan transportasi, banyaknya persilangan arus menjadi sumber masalah di jalan raya, apalagi jika sarana transportasi masal tidak terhubung dengan pusat-pusat kegiatan serta kurangnya sarana pedestrian yang memadai mengakibatkan mobilitas perjalan kaki semakin rendah, serta mendorong orang untuk memenuhi kebutuhan transportasi dengan menggunakan kenderaan pribadi.

Jika kita sedikit jeli memperhatikan saat ini di Kota Gorontalo hanya memiliki satu alat angkut warga, Bentor menjadi banyak diminati karena alat transportasi memberikan jaminan kecepatan, ketepatan meskipun kenyamananya sangat sedikit berbeda bagi setiap pengguna terutama untuk kepastian tarif dalam satuan jarak, tingginya intensitas bentor dengan sistem pelayanan dor to dor cukup memberikan privasi penumpang yang karena hanya akan melayani satu tujuan saja, menjadi pematik pesatnya pertumbuhan bentor hingga mendominsi jalan raya di kota Gorontalo . 

Beberapa pesaing seperti angkutan tradisional bendi hilang dan perlahan ditinggalkan, alasan tentu rendahnya intensitas, keterlambatan bendi dalam mencapai tujuan karena sistem pelayanan bendi memuat beberapa penumpang dalam tujuan berbeda, menyebabkan bendi kurang efesien bagi penumpang yang menginginkan kecepatan dalam mencapai tujuannya. Hal lain yang membuat bendi mulai ditinggalkan ialah pergeseran sosial masyarakat perkotaan yang nyaman dengan pelayanan privat yang ditawarkan bentor, beberapa hal diatas menjadi sebagian alasan bendi ditinggalkan padahal bendi sala satu alat transportasi yang ramah lingkungan. 

Sebagai alat angkut warga yang sifatnya dor to dor, bentor mulai ikut bersaing dengan transportasi berbasis online seperti ojek dan taxi online, meskipun beberapa bentor mulai bermitra dengan perusahaan aplikasi, namun fenomena kehadiran transportasi berbasis aplikasi ini bukan menjadi jalan keluar, ketidakadaan rute perjalanan menjadikan keduanya tidak memiliki perbedaan sebagai sumber dari kesemrautan di jalan raya perkotaan. 

Beberapa masalah transportasi tersebut memang tidak dapat diselsaikan dengan meniadakan salah satu atau keduanya, sebab transportasi adalah kebutuhan yang telah menempel disetiap kebutuhan dasar masyarakat kota. Bentor misalnya meskipun keberadaanya oleh kementrian perhubungan tidak mendapatkan kelayakan status sebagai moda transportasi umum, karena tidak terpenuhinya aspek keselamatan penumpang, tetap telah memberikan sumbangsi besar terhadap pelayanan warga selama ini, sehingga pilihan yang paling bijak ialah dengan mengatur keduanya dengan meberikan rute pelayanan.


Upaya yang mungkin dilakukan kedepan ialah dengan mencoba melihat permasalahan ini dalam konsep secara mikro (lalu lintas) dan makro (kewilayahan) transportasi. Dimana secara mikro misalnya, dapat dimulai dengan mengevaluasi pola pergerakan kenderaan dengan tujuan untuk meminimalisir persilangan disetiap simpang dengan penyatuan arus, melakukan evaluasi jaringan jalan sesuai dengan hirarki jalan dimana jaringan-jaringan pengumpul yang terhubung ke jalan-jalan lokal diatur, sehingga pertemuan jalan arteri dengan jalan lokal (lingkungan) secara langsung dapat dihindari.

Hal lain yang dapat dilakukan juga dengan menambah prasarana parkir di pusat-pusat kegiatan kota, atau dengan kata lain pemerintah mengendalikan langsung parkir dengan regulasi dan pembayaran yang canggih dengan harapan masalah sosial akibat sengketa lahan parkir dapat ditengahi. Selain itu dapat juga dilakukan dengan memperbaiki sarana dan prasarana pejalan kaki seperti trotoar dan meningkatkan fungsinya melalui menertibkan pemanfataan trotoar terhadap hal-hal yang tidak semestinya seperti; Pedagang kaki lima, papan reklame toko, instalasi kabel telpon, tiang listrik, tempat sampah, bahkan pot bunga, dan menambahkan pohon sehingga suhu kota terkendali dan menambah kenyamanan pejalan kaki. 


Secara makro transportasi dapat dilakukan dengan mengkaji kembali  Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), sehingga investasi hotel, rumah makan, tempat belanja, sarana olahraga, sarana pendidikan formal/informal didekatkan dengan pusat-pusat pemukiman warga, sehingga radiusnya dapat dijangkau dengan berjalan kaki, atau dengan memperketat izin pemanfaaatan ruang (IPR) dan izin mendirikan bangunan (IMB) sehingga masih ada ruang untuk perluasan dan pengembangan jaringan jalan.

Tantangan transportasi memang sangat sukar jika dibebankan kepada satu instansi pemerintah saja. Dibutuhkan kolaborasi linstas instansi dan peran serta warga, sehingga kajian transportasi dapat diselesaikan secara rekayasa dan pendekatan spasial atau melaui kebijakan tertentu. Kemendikbud RI misalnya melahirkan kebijakan yang mengatur jarak antara rumah peserta didik baru dengan sekolah, yang secara tidak langsung mendorong kebiasaan anak berjalan kaki kesekolah, hal ini membantu menekan konsumsi fosil yang berlebih saat mengantarkan anak menuju ke sekolah favorit yang jauh, kebijakan ini tentu dapat meminimalisir efek gas rumah kaca akibat kegiatan manusia (antropogenik) terutama dari sektor transportasi.

Wunas, (2011) menyatakan bahwa transportasi memiliki peran yang kuat dalam pertumbuhan ekonomi, perubahan gaya hidup modern telah meningkatkan sejumlah kerugian, seperti meningkatnya jumlah konsumsi energi dan biaya akibat ketergantungan masyarakat pada kenderaan yang juga ikut disebabkan oleh kondisi kota yang tidak mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat.

Beberapa hal diatas memperjelas bahwa transportasi merupakan tanggung jawab kita semua, dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat dalam memahami pentingnya menekan masalah transportasi bersama, melalui peningkatan sarana dan prasarana dan masyarakat dapat memulai kampanye kebiasaan berjalan kaki dalam radius kurang dari 1 kilometer. untuk mendukung hal tersebut pemerintah dapat mencoba konsep menata kota nan hijau dengan desain kota yang padat (Compact City).(*)

Penulis : Rahmat Libunelo, ST.MT

Dosen Fakultas Tehnik UNG

Exit mobile version