
TATIYE.ID (OPINI) – Dalam ranah politik ketika ada politisi yang hendak menjadi wakil rakyat atau pemimpin, masyarakat akan apriori dan cenderung menolak serta mengkhawatirkan nasibnya bisa seperti buah karbitan yang mudah matang dan cepat pula membusuk.
Istilah politikus karbitan sekarang makin populer karena disinyalir akibat munculnya para politisi yang duduk sebagai wakil rakyat namun kurang matang dalam berpolitik.
Hanya bermodalkan poster berisi pose dan pesan kebaikan hingga janji manis, merupakan tujuan besar mereka untuk meraih popularitas demi merebut hati masyarakat.
Pinginnya agar bisa dianggap sebagai orang baik yang mumpuni mewakili suara rakyat. Tapi tentu tak semuanya begitu. Sehingga tak munafik jika wajah-wajah politikus karbitan dianggap mempunyai topeng berlapis-lapis.
Di hadapan media, seakan-akan berperan seperti malaikat yang bisa membawa pesan untuk mengabulkan kepentingan orang banyak. Namun nyatanya tujuan politiknya bukan karena itu, melainkan kepentingan pribadi.
Bukan tanpa alasan, timbulnya pesimis terhadap kinerja Mereka. Bukan karena persoalan lain, tapi lebih karena ulah mereka sendiri.
Tak sedikit politisi karbitan saat ini yang di agung – agungkan menjadi keterwakilan rakyat namun nyatanya hanya duduk, diam, seperti halnya hewan salamander Olm yang bisa diam di satu tempat hingga bertahun-tahun untuk menghemat energi dan menunggu makanan datang.
Kondisi inilah yang menimbulkan tsunami krisis kepercayaan publik pada Mereka.
Biasanya kemunculan politisi karbitan ini didahului karena krisis kepemimpinan ataupun kader. Misalnya, jika di sebuah negara ataupun partai politik mengalami kelangkaan calon pemimpin yang layak dipilih untuk memimpin maka sejumlah pihak bisa menjadikan orang lain atau dirinya sendiri sebagai orang yang layak untuk dipilih. Hal ini persis seperti yang terjadi di pasar buah. Banyak orang biasanya akan terpaksa membeli buah karbitan karena buah yang matang alamiah sedang langka.
Beralih soal pandangan publik. Generasi Z, (generasi yang lahir pada antara tahun 1997 sampai dengan 2012), menjadi kritikus aktif yang menyoroti bahkan mendiskripsikan jika mayoritas kinerja politisi karbitan yang dinilai ugal-ugalan dengan tujuan kepentingan kelompok, ataupun pribadi.
Media sosial, menjadi sasaran tumpahan pendapat dari berbagai golongan yang memaksa khalayak umum harus selektif menemukan pilihan argument.
Banjirnya informasi di medsos yang aktif digerakan oleh anak – anak muda maupun masyarakat membuat perbincangan soal politik tak bisa lolos dari obrolan. Baik melalui komentar media sosial maupun warung kopi.
Tentu plus minus, ada yang pro dan ada juga yang kontra. Minimnya kepercayaan publik juga karena didasari gelagat kesombongan mereka yang mendominan .(*)