Sakit Hati dan Ujaran Kebencian

Fory Naway, (foto dok).

Oleh:
Prof. Fory Armin Naway
Guru Besar UNG, Ketua ICMI dan Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo.

TATIYE.ID (GORONTALO) – Dalam banyak kasus, ujaran Kebencian telah menjadi sebuah fenomena yang sering menghiasi media sosial (medsos) yang sengaja disebar ke ruang publik. Itulah sebabnya, Pemerintah mengambil sebuah langkah tepat, dengan menerbitkan Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang mengatur tentang penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik yang berkaitan dengan penggunaan internet, komputer, dan perangkat elektronik lainnya.

Ketentuan Undang-Undang ini menjadi sangat penting untuk mengendalikan, mencegah dan menjadi landasan hukum dalam mengambil tindakan terhadap setiap warga negara yang mencoba menyalahgunakan internet dan perangkat elektronik lainnya yang dapat meresahkan, menurunkan kewibawaan, harkat dan martabat kemanusiaan orang lain maupun institusi untuk tujuan-tujuan tertentu. Targetnya adalah mewujudkan harmoni kehidupan antar sesama anak bangsa agar tercipta ketentraman sosial dan kedamaian di negeri ini.

Namun terlepas dari semua itu, satu hal yang penting menjadi catatan, bahwa ujaran Kebencian tidak terlepas dari tabiat, karakter dan kualitas moral individu-individu yang terkadang tidak mampu memaknai hakekat hidup yang sesungguhnya yang harus meneguhkan komitmen untuk berhablun Minallah dan Hablun Minanas. Itulah ujung pangkal dari semua persoalan hingga mendorong seseorang meluapkan emosi dan tidak mampu mengendalikan dirinya secara optimal

Ujaran kebencian, biasanya disebabkan oleh rasa sakit hati, kecewa dan ketidakpuasan yang berlebihan yang dirasakan oleh seseorang yang kemudian mengkristal dan diekspresikannya dengan berbagai cara, baik melalui kata-kata, tindakan dan perbuatan demi melampiaskan rasa sakitnya itu.

Namun yang penting untuk dicatat, apapun alasannya, ujaran kebencian adalah sebuah “penyakit’ yang menandakan seseorang bermasalah secara karakter, moral, mental dan psikologis. Karena sesungguhnya, rasa sakit hati yang berujung pada kebencian bermula atau berawal pada karakter kepribadiannya yang “terlalu berlebihan” menaruh dan menyandarkan harapan pada manusia”.

Artinya, orang yang sakit hati dan kecewa yang berujung pada “benci”, biasanya disebabkan oleh karena keinginannya, harapannya atau yang diidam-idamkannya tidak dipenuhi atau tidak diakomodir oleh orang lain. Dengan kata lain, orang yang mudah sakit hati dan kecewa, adalah mereka atau seseorang yang memiliki rasa “egois” yang tinggi sehingga “salah kaprah” dalam menempatkan dirinya dalam segala hal.

Egoisme atau keakuan termasuk sifat hewani yang identik dengan (maaf) monyet yang selalu mengukur orang lain dengan ukuran dan standar dirinya sendiri. Itulah sebabnya ia tidak lagi bisa berpikir jernih, obyektif dan rasional sehingga cenderung memaksakan kehendak. Ketika kehendaknya itu tidak dipenuhi, maka ia akan meluapkan emosinya yang destruktif.

Egoisme yang sudah melekat pada diri seseorang akan memunculkan syndrome “penyakit hati” yang akut. Bahkan untuk mengingat kebaikan yang pernah ia terima dari orang lain yang ia benci, tidak lagi terlintas dalam benaknya. Pokoknya dia yang merasa benar, yang lain salah. Ia hanya berpikir tentang dirinya dan memandang standar kebenaran berdasarkan perspektif dirinya sendiri.

Orang dengan sifat “ego” yang tinggi seperti ini, akan mudah jatuh dan terperangkap dalam buaian keakuan dirinya sendiri yang selalu memandang orang lain, bahkan yang pernah berbuat baik dan pernah berjasa pada dirinya dan keluarganya sekalipun tidaklah berarti apa-apa. Akibatnya ia terjebak pada sifat sombong dan angkuh yang terkadang sulit mengendalikan dirinya sehingga selalu menyerang dan meluapkan emosinya dengan kata-kata yang penuh dengan ujaran kebencian.

Selain itu, orang dengan sifat ego yang tinggi seperti ini, dalam perspektif agama tengah menjadi sahabat dan bersekutu dengan syetan. Hal itu terjadi karena orang dengan model seperti ini selalu memandang uluran tangan orang lain, tidaklah mendapat tempat di hatinya. Bahkan sepuluh kebaikan yang pernah ia terima dari seseorang akan terhspus oleh satu kesalahan yang ia terima dari orang lain itu.

Oleh karena itu, segala bentuk ekspresi, berupa kata-kata ujaran kebencian, hasutan, agitasi dan fitnah yang dilontarkan oleh orang yang angkuh, sombong, egois dan tidak berakhlak seperti ini ,sesungguhnya merupakan “miliknya sendiri” sebagaimana ungkapan “yang darimu adalah milikmu” bukan milik orang lain.

Lebih jauh lagi, orang yang egois dan angkuh adalah mereka yang diibaratkan tengah ‘menggali” kuburannya sendiri. Ia tengah menanam keburukan yang kelak ia sendiri yang akan memanen keburukan itu. Karena sesungguhnya, apa yang kau tabur,itulah yang akan engkau petik nanti.

Lantas, bagaimana terlepas dari sifat egois, sombong dan tidak mudah sakit hati pada orang lain? Kuncinya adalah, “Jangan terlalu berharap pada orang lain, melainkan berdirilah di atas kaki sendiri”. Selain itu, bersandarlah kepada Sang Maha Pencipta” bukan pada sesama ciptaan. Jika tidak kau akan selalu diselimuti oleh sakit hati dan hidpmu selalu menderita karena kebencian.

Yang terpenting lagi, Jangan sekali-kali memaksakan kehendak pada orang lain. Keinginanmu, harapanmu dan apa yang kau dambakan, bukan menjadi standar kebenaran hingga sesumbar menyalahkan dan menaruh kebencian pada orang lain. Ketika sakit hati tidak dapat dibendung, ujaran kebencian menjadi senjatamu, sementara orang lain yang kau benci itu diam dan membalasnya dengan sabar,ikhlas sembari setiap saat membentang sajadah, bersujud dan berdoa, maka sesungguhnya hidupmu tengah menghadapi masalah yang sangat besar. Mari merenung dan berbenah. Semoga.

Exit mobile version