
TATIYE (GORONTALO) – Selasa, 7 Oktober 2025, menjadi hari yang penuh kontras di dua kabupaten yang hanya dipisahkan oleh batas wilayah. Di Kabupaten Boalemo, puluhan personel kepolisian sibuk berjibaku di medan berlumpur, menertibkan ratusan penambang ilegal. Sementara di Kabupaten Pohuwato, aparatnya justru diam seribu bahasa, seolah tak peduli dengan kerusakan serupa yang terjadi di halaman mereka sendiri.
Pagi itu, di bawah pimpinan Kabag Ops Polres Boalemo AKP Pomil Montu, S.H., suasana di Desa Batu Kramat dan Desa Saripi, Kecamatan Paguyaman, berubah tegang. Aparat menyisir setiap sudut lokasi tambang, menghentikan aktivitas ratusan pekerja manual dan menyita tujuh mesin diesel dompeng yang beroperasi tanpa henti. Kesibukan ini adalah wujud nyata dari negara yang hadir.
Di Desa Batu Kramat, tim gabungan berhadapan dengan sekitar 750 pekerja yang menggali lebih dari 150 lubang tambang. Sebuah operasi yang tidak mudah, namun dijalankan dengan tegas dan terukur. Semua peralatan disita, dan imbauan keras diberikan. Polres Boalemo menunjukkan bahwa mereka tidak akan berkompromi dengan perusak lingkungan.
Namun, mari kita geser pandangan ke Pohuwato. Di sana, kesibukan yang terlihat bukanlah dari aparat, melainkan dari para penambang ilegal yang terus beraktivitas tanpa gangguan. Ratusan lubang galian yang ada sejak tahun 2020 menjadi saksi bisu dari sikap diam aparat Polres Pohuwato. Tidak ada operasi, tidak ada penyitaan, hanya keheningan yang memekakkan telinga.
Sikap diam seribu bahasa dari Polres Pohuwato ini sangat ironis. Keluhan masyarakat tentang air yang tercemar dan lahan pertanian yang hancur tak mampu membuat mereka bersuara. Bahkan ketika media nasional mulai menyorot kasus PETI di wilayah mereka, respons yang ditunjukkan masih jauh dari harapan. Mereka seolah memilih untuk tuli dan buta.
Keheningan ini akhirnya pecah, bukan oleh Polres Pohuwato, tetapi oleh Kejaksaan Tinggi Gorontalo yang harus turun tangan langsung. Langkah Kejati ini seolah menjadi teriakan keras di tengah kebisuan Polres Pohuwato, sebuah sinyal bahwa ada yang salah dalam sistem penegakan hukum di kabupaten tersebut.
Bagi warga, perbedaan ini sangat menyakitkan. Di Boalemo, warga melihat polisi mereka bekerja. Di Pohuwato, warga hanya bisa menelan kekecewaan. Sikap diam aparat di tengah penderitaan rakyat adalah bentuk pengabaian yang paling kejam.
Kisah kontras ini menjadi pelajaran berharga. Saat Polres Boalemo sibuk bekerja menegakkan hukum, Polres Pohuwato justru sibuk dengan keheningannya. Dan dalam keheningan itu, kepercayaan publik perlahan-lahan mati, digantikan oleh apatisme dan ketidakpercayaan yang mendalam. (***)


















