Rumput Tetangga (Tidak) Lebih Hijau

Istilah Rumput Tetangga Lebih Hijau, sering
digunakan untuk menyebutkan pandangan seseorang atas sesuatuâ€â€bisa berupa harta,
jabatan, prestasi, pasangan, anak, dan lain-lainâ€â€yang dimiliki orang lain dan
terlihat seolah lebih baik atau lebih indah daripada apa yang dia miliki.
Sebuah peribahasa Indonesia yang memiliki arti “tidak puas dengan apa yang
dimiliki, melihat orang lain yang sepertinya lebih baikâ€Â.

Banyak orang merasa kalau ‘rumput tetangga lebih hijau’.
Padahal secara makna, tersirat kata ‘tampak’. Sehingga utuh jika dimaknai bahwa
rumput yang terlihat itu hanya tampaknya saja lebih hijau. Sebuah fatamorgana
pikiran atau ilusi kita semata. Dalam
bahasa Jawa diistilahkan sebagai wang sinawang.

Wang Sinawang

Sawang berarti pandang, lihat. Setelah mengalami
pengulangan menjadi sawang
sinawang
 berarti pandang memandang atau saling pandang.
Begitulah makna etimologis ungkapan Jawa wang sinawang. Secara
filosofis, wang
sinawang
 bermakna saling menilai orang lain dan biasanya
memandang orang lain lebih baik atau beruntung dari diri sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin pernah
mengalami ini. Memiliki kecenderungan untuk memandang, membandingkan diri
(sesuatu yang kita miliki) dengan orang lain, kemudian merasa yang dimiliki
orang lain lebih baik. Yang lain selalu ‘lebih berlian’ dari pada ‘pasir’ untuk
dirasakan. Padahal bisa jadi orang lain memandang kita memiliki ‘berlian’ yang
berbentuk butiran laksana pasir. Dan ternyata kita tidak sadar kalau ternyata
kita memang memiliki itu.

“Manusia memiliki kecenderungan untuk
memandang, membandingkan diri (sesuatu yang kita miliki) dengan orang lain,
kemudian merasa yang dimiliki orang lain lebih baik”

Ilustrasi sederhananya seperti ini. Si A menganggap bahwa
si B, orang yang selalu bahagia, tidak pernah punya masalah, tidak pernah
sedih. Sebaliknya si B pun memandang bahwa si A hidupnya enak, tidak pernah
kekurangan uang dan tidak punya utang. Padahal si B pun sebenarnya memiliki
masalah, hanya saja tidak dia perlihatkan di muka publik. Yang dia tunjukkan
adalah wajah tersenyum dan raut bahagia. Begitu pun demikian dengan si A;
bukannya tidak punya utang, melainkan karena hidupnyayang apa adanya tidak
berlebihan, orang jadi melihatnya selalu berkecukupan.

Begitu juga dalam konteks bahasan kali ini, yaitu
mengenai pasangan. Ada kalanya seseorang melihat pasangan orang lain begitu
sempurna dibanding pasangannya, dengan berbagai keistimewaan yang terlihat.
Muncullah kecenderungan untuk membandingkan. Padahal pasangan kita atau
individu manusia secara umum itu bukan sesuatu yang bisa dibandingkan, karena
hakikatnya terdiri dari beberapa elemen yang pasti tidak sama. Juga bahwa di
samping memiliki kelebihan, dia niscaya memiliki kekurangan. Pada setiap
individu, sisi kelebihan dan kelemahan ini Allah ditempatkan pada elemen atau
hal yang berbeda-beda. Sehingga jika dibandingkan, sangatlah tidak fair, atau dalam
bahasa yang sedang tren sekarang; tidak apple
to apple
.

Kesan, Sudut Pandang dan
Tolok Ukur

Aktivitas memandang sangat dekat kaitannya dengan kesan,
sudut pandang dan tolok ukur. Apakah benar ‘rumput tetangga itu lebih hijau’?
Jawabannya tergantung dari sudut pandang, tolok ukur dan kesan yang dapat kita
tangkap (subjektif dan sangat tidak objektif).

Mengenai sudut pandang, seringnya kita salah. Ibarat
salah memakai kacamata. Kacamata hijau misalnya ketika melihat rumput orang
lain, sehingga semuanya terlihat hijau. Dan kacamata cokelat saat melihat
pekarangan sendiri, sehingga terlihat selalu gersang. Melihat pasangan sendiri
hanya dari kelemahannya, sedangkan melihat pasangan orang lain pada
kelebihannya.

Mengenai tolok ukur; saat memandang rumput tetangga lebih
hijau mungkin kita mengabaikan bahwa ada rumput varietas lain, misalnya.
Sehingga belum tentu rumput yang lebih pucat warnanya menandakan kualitas yang
buruk. Terkadang warna pucat justru indah dan lebih baik. Seperti buah semangka
kuning, misalnya. Saat kita memandang pasangan orang lain dengan mengambil
tolok ukur yang bersifat materi (terlihat) tidak akan pernah bisa setara dengan
hal-hal yang bersifat immateri dari pasangan kita. Padahal yang immateri itu
bisa jadi lebih berharga.

Mengenai kesan, berkait dengan keterbatasan kita
memandang. Kita mengamati ‘rumput tetangga’ hanya sekilas, parsial, dan tidak
utuh. Karena memang tidak mungkin mengetahui sisi terdalam orang lain, terlebih
pasangan orang lain. Sementara pasangan kita, bisa kita amati sedetail mungkin.
Belum tentu jika kita amati dengan cara yang sama, akan kita dapati ‘rumput
tetangga’ itu lebih hijau.

Analogi-analogi tersebut memperjelas bahwa ‘rumput
tetangga tidak lebih hijau’. Atau yang mungkin lebih pas; “rumput tetangga
mungkin lebih hijau, tetapi buah di kebun kita jauh lebih manisâ€Â. Pasangan
orang lain mungkin istimewa dalam hal tertentu, tetapi pasangan kita juga lebih
istimewa dalam banyak hal.

“Rumput tetangga mungkin lebih hijau, tetapi
buah di kebun kita jauh lebih manis”

Kurangnya Syukur

Merasa bahwa pasangan orang lain lebih baik dari pasangan
kita, adalah wujud kurangnya syukur. Padahal syukur adalah kunci agar kita
selalu bahagia dan bisa melihat betapa banyak berkah dalam hidup kita. Jika hal
ini tidak diantisipasi akan berbahaya bagi diri dan keluarga.

Pertama,‘menutupi’ pandangan kita pada pasangan
sendiri terutama pada sisi kebaikanny. Sehingga membuat kita lupa mensyukuri
anugerah pasangan itu sendiri. Pasangan yang dianugerahkan kepada kita adalah
pasangan yang terbaik dan paling pas untuk kita. Kita dan juga pasangan kita
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Begitu pun setiap orang; yang
kita pandang sempurna sekalipun, kelebihan dan kekurangannya belum tentu pas bersanding
dengan kita.

Kekurangan pasangan hakikatnya adalah ‘kekurangan’ kita.
Karena jika pasangan kita tidak memiliki kekurangan-kekurangan itu, mungkin
sudah sejak dari awal mereka telah menikah dengan orang yang lebih baik dari
kita. Jadikanlah kekurangan itu sebagai cermin untuk memperbaiki diri kita.
Sehingga proses memandang orang lain juga lebih terfokus pada bagaimana diri
kita bisa senantiasa memperbaiki diri dan keluarga

Kedua, merusak keharmonisan rumah tangga. Karena
jika hal tersebut sampai dilisankan mesti dalam bentuk yang paling sederhana
sekalipun, dapat membuat pasangan kita sakit hati. Lebih jauh lagi dapat
‘mematikan’ hal positif dari pasangan yang bisa muncul karena efek motivasional dari
perhatian, pujian, merasa diterima, merasa spesial, dan satu-satunya.

Ketiga, yang lebih berbahaya jika kemudian ada
pikiran merasa bahwa pasangan orang lain tersebutlah yang seharusnya menjadi
pasangannya. Ini akan membentuk penyakit hati; iri. Bahkan sangat mungkin
menjadi hasad,
yaitu membenci kenikmatan Allah yang diberikan kepada orang lain atau
berangan-angan agar suatu nikmat yang ada pada orang lain menjadi hilang.
Semoga kita dijauhkan dari yang demikian.

“You may think the grass is greener on the
other side, but if you take the time to water your own grass it would be just
as green”

Karena ‘rumput tetangga’ hanya tampaknya saja lebih hijau
maka kenapa kita tidak lebih fokus pada ‘memupuk dan merawat rumput’ kita
sendiri. Fokus pada bagaimana senantiasa memperbaiki diri dan pasangan kita.
Menerima, membungkus setiap kekurangan dan kelebihannya menjadi ‘racikan’
sempurna dalam kehidupan kita. Jika kembali pada analogi rumput, maka lebih
baik menghijaukan rumput sendiri ketimbang senantiasa memandang ‘rumput
tetangga’.“You may
think the grass is greener on the other side, but if you take the time to water
your own grass it would be just as green.â€Â
[Dimuat Hadila Edisi
September 2014] (
Hadila.co.id )

Exit mobile version