Penulis: Putra Ramadhan Daeng Hase, S.Hut
TATIYE.ID – Lingkungan Perkotaan di indonesia saat ini umumnya berkembang secara ekonomis namun menurun secara ekologis. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yang paling dominan adalah faktor kebijakan atau regulasi Pemeirntah perkotaan yang lebih cenderung memprioritaskan pertumbuhan ekononmo ketimbang ekologis. Tidak heran jika banyak hamparan lahan-lahan tebuka hijau atau bahkan areal pertanian di perkotaan, beralih fungsi menjadi hamparan gedung perkantoran, pertokoan, rumah makan, pemukiman, kawasan perdagangan dan sebagianya.
Ironisnya, para pengambil kebijakan, juga elemen masyarakat lainnya, bukan tidak tahu, bahkan menyadari bahwa peralihan fungsi lahan-lahan perkotaan tersebut, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek akan berdampak negatif terhadap perubahan ekosistem lingkungan. Hanya saja, karena demi alasan peningkatan ekonomi masyarakat, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), penurunan angka kemiskisnan dan pengangguran serta tuntutan perkembangan kota menjadi alasan klasik yang seakan “memaksa” pemerintah di perkotaan cenderung mengabaikan faktor pelestarian lingkungan hidup.
Dalam perspektif ini, terkesan bahwa Pemerintah di perkotaan seakan-akan menghadapi dilema, apakah lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi, ataukah pembangunan yang berwawasan lingkungan. Padahal, jika merujuk pada ketentuan Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang memberikan proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota, maka sejatinya, pemerintah perkotaan tidak terkesan dilematis. Artinya, yang dibuthkan adalah konsistensi menjalankan ketentuan itu secara konkrit.
Bagaimanapun, proporsi minimal 30 persen RTH tersebut, dimaksudkan untuk menjamin keseimbangan ekosistem dalam kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang dibutuhkan oleh masyarakat sekaligus untuk pemenuhan unsur estetik perkotaan. Paling tidak, dalam regulasi ini, selain RTH juga pembangunan jalur hijau yang sangat penting dalam mewujudkan penataan kota yang berwawasan lingkungan.
Dalam konteks ini, Kota Gorontalo menjadi contoh. Dari segi luasnya, Kota Gorontalo sebagai ibukota Provinsi Gorontalo memiliki luas wilayah 79,59 KM persegi. Jika merujuk pada ketentuan proporsi 30 persen RTH, maka sejatinya, mnimal 23,877 km RTH, tidak termasuk di dalamnya jalur hijau yang menghiasi sudut-sudut jalan di Kota Gorontalo.
Jika menilik keberadaan RTH di Kota Gorontalo saat ini, maka nampaknya, ketentuan proporsi 30 persen belum mencapai target. Hal itu terlihat dari data yang dirilis Pemerintah Kota Gorontalo tahun 2021, bahwa RTH di Kota Gorontalo hanya seluas 12 hektar, yakni RTH di Kelurahan Moodu Kec. Kota Timur, RTH di Liluwo Kec. Kota Tengah, RTH di Kel. Limba B Kec. Kota Tengah dan ditambah taman lingkungan yang berada di setiap kecamatan.
Dari indikator ini menunjukkan bahwa ke depan, Pemerintah Kota Gorontalo masih sangat penting menaruh perhatian terhadap pembangunan RTH minimal mendekati angka 30 persen dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain RTH dan taman lingkungan, salah satu agenda yang tidak kalah pentingnya menjadi perhatian Pemerintah Kota Gorontalo adalah jalur hijau yang tidak hanya berfungsi untuk menjaga kebersihan udara, juga penting untuk menambah estetika pemandangan Kota Gorontalo sebagai ibukota Provinsi.
Pembangunan melalui pendekatan ekonomi sangat penting. Hanya saja kebijakan itu diimbangi dengan pembangunan RTH dan kawasan resapan air lainnya seperti hutan kota agar generasi hari ini dapat mewariskan Kota Gorontalo yang hijau dan lestari kepada generasi Gorontalo di masa mendatang.
Apalagi, Kota Gorontalo sebagai salah satu kawasan di Provinsi Gorontalo yang rawan banjir dan mudah tergenang, sekaligus menjadi kawasan hilir atau daerah muara (Huliya Liyo) dari 2 Sungai besar, yakni Sungai Bone dan Sungai Bulango, maka sejatinya penataan Kota Gorontalo diarahkan pada pembangunan infrastruktur yang berbasis ekologis atau pembangunan yang berwawasan lingkungan yang lestari.
Kota Gorontalo sebagai ibukota Provinsi, sejatinya menjadi barometer sekaligus pelopor pembangunan yang berwawasan lingkungan. Hal itu, semata-mata bukan sekadar pilihan, tapi sebuah keniscayaan bila melihat topografi dan kondisi geografis Kota Gorontalo sebagai salah satu daerah yang termasuk rawan banjir dan longsor karena dikelilingi oleh gunung dan perbukitan, terutama di wilayah selatan dan timur Kota Gorontalo.
Oleh karena itu, komitmen menjaga dan merawat Kota Gorontalo sebagai sebuah kota yang hijau, lestari, berbudaya yang selaras dengan julukannya sebagai Kota Serambi Madinah yang pernah digaungkan mendiang mantan Walikota Medi Botutihe benar-benar teraktualisasikan secara konkrit.