TATIYE.ID (GORUT) – Anggota Komisi ll DPRD Kabupaten Gorontalo Utara (Gorut), Ridwan Riko Arbie, menyampaikan bahwa pada ketentuan perundang-undangan yang ada Panitia Hak Angket DPRD tersebut dapat melakukan pemanggilan paksa.
Hal ini untuk menjawab pernyataan dari salah satu aktivis Gorut yang saat ini menyebutkan bahwa pemanggilan paksa hanya untuk kasus pidana, bukan dalam rangka penggunaan Hak Angket. Pasalnya hal tersebut dikarenakan adanya Putusan MK No. 18/PUU-XVI/2018.
Ridwan yang juga sebagai politisi senior HANURA ini mengatakan, dimana, untuk memahami putusan MK tidaklah mudah, kareba hal tersebut membutuhkan kemampuan tersendiri. Apalagi jika hanya sekedar main kutip dari google maka bisa salah kaprah.
“Konstruksi putusan MK yang strukturnya rumit dan penggunaan bahasanya yang baku sering kali membuat siapa saja sulit memahaminya. Memang butuh kemampuan tersendiri untuk dapat memahaminya,” jelas Ridwan Arbie.
Dia menjelaskan, putusan MK No. 16/PUU-XVI/2018 adalah Judicial Review atas UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir diubah dengan UU No. 2 Tahun 2018. Dalam Amar pada Putusan MK No 16/PUU-XVI/2018 tersebut sama sekali tidak mencabut atau membatalkan ketentuan bahwa dalam rangka penggunaan hak Angket DPR-RI memiliki kewenangan memanggil secara paksa dengan bantuan kepolisian bagi para pihak yang tidak memenuhi panggilan setelah dipanggi berturut-turut tanpa alasan yang sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 204 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2018 yang lengkapnya berbunyi : “Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kah berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Sesungguhnya kata Ridwan, putusan MK No. 16/PUU-XVI/2018 tersebut hanya mencabut ketentuan Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU No. 2 Tahun 2018 yang pada pokoknya mengatur kewenangan DPR-RI memanggil paksa dengan menggunakan kepolisian bagi para pihak yang tidak hadir dalam seluruh jenis rapat DPR-RI kecuali dalam rangka penggunaan Hak Angket.
“Jadi pada intinya Putusan MK No. 16/PUU-XVI/2018 tersebut tidak mencabut kewenangan DPR-RI dalam memanggil paksa dalam rangka penggunaan Hak Angket akan tetapi hanya mencabut kewenangan DPR-RI dalam memanggil paksa di semua rapat kecuali rapat Panitia Angket,” papar Ridwan.
Selain itu masih kata Ridwan, putusan MK No. 18/PUU-XVI/2018 tersebut hanya mencabut ketentuan Pasal 122 huruf I UU No. 2 Tahun 2018 yang mengatur kewenangan Mahkamah Kehormatan DPR-RI.
“Harus banyak belajar agar mampu memahami perbedaan DPR-RI dengan DPRD Prov/Kab/Kota. Sesungguhnya semenjak berlakunya UU No. 23 Tahun 2014, maka DPRD Prov/kab/Kota tidak lagi berada di bawah rezim UU No.17 Tahun 2014 beserta perubahannya akan tetapi sudah berada di bawah rezim UU No. 23 Tahun 2014 beserta perubahannya sehingga seharusnya tidak mencampur adukan hasil uji materi terhadap UU No. 17 Tahun 2014 yang mengatur DPR-RI dengan norma yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014 yang mengatur DPRD Prov/Kab/Kota. Itu sama halnya urusan laut di bawah ke darat,” papar Ridwan Arbie.
Memang konstruksi pelaksanaan kewenangan DPR-RI dan DPRD Prov/Kab/Kota yang sama-sama sebagai lembaga perwakilan rakyat dalam sistem Tata Negara Indonesia adalah sebangun, misalnya soal hak kelembagaan, sama memiliki Hak Interpelasi, Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat.
Dalam pelaksanaannya pun berlaku mutatis mutandis, misalnya dalam penggunaan Hak Angket DPR-RI serta DPRD Prov/Kab/Kota dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian bagi para pihak yang tidak hadir setelah dipanggil berturut-turut. Meskipun sebangun akan tetapi berbeda dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan pengaturannya.
Perlu juga dijelaskan kata Ridwan, bahwa ketentuan kewenangan DPRD Kab/Kota dalam rangka penggunaan Hak Angket dapat memanggil secara paksa diatur Pasal 171 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 yang selengkapnya berbunyi: “Dalam hal pejabat Pemerintah Daerah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di Daerah kabupaten/kota telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan, DPRD kabupaten/kota dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
“Hingga saat ini ketentuan tersebut belum di review oleh MK maupun oleh perundang-undangan dalam heararki yang sama,” terang anggota DPRD Gorut tiga periode itu.
Dengan demikian sangat jelas bahwa disamping tidak ada ketentuan atau Putusan MK yang telah mencabut kewenangan panggil paksa dalam penggunaan Hak Angket oleh DPR-RI tidak terdapat pula ketentuan atau Putusan MK yang telah mencabut kewenangan panggil paksa dalam penggunaan Hak Angket oleh DPRD Prov/Kab/Kota, serta terdapat perbedaan antara UU yang mengatur tentang DPR-RI dan yang mengatur DPRD Prov/Kab/Kota.
Sebenarnya kata Ridwan, tak ada urgensinya bagi panitia Angket menanggapi pernyataan oknum aktivis yang dangkal itu, akan tetapi jangan sampai opininya akan membuat pemahaman timpang di kalangan masyarakat.
“Maka kami berpikir alangkah baiknya diklarifikasi. Perlu juga kami jelaskan bahwa penggunaan Hak Angket oleg DPRD Gorut telah dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku karena telah didahului kajian yang bukan abal-abal, tapi kajian yang komprehensif oleh DPRD Moga dengan penggunaan Hak Angket ini akan menciptakan pemerintahan Gorontalo Utara yang jauh lebih baik,” tutupnya (*)