Ramadhan sebagai “Syahrul At-Tarbiyah”

Oleh:
Prof. Fory Armin Naway
Guru Besar Universitas Negeri Gorontalo dan Ketua PGRI Kab. Gorontalo

Ibadah Puasa di bulan suci Ramadhan bagi ummat Islam, tidak hanya dipandang sebagai sebuah kewajiban untuk menjalankan perintah Allah SWT, tapi juga perintah Puasa ternyata dalam manifestasinya mengandung hikmah, nilai dan pengajaran yang multidimensional bagi ummat Islam. Dalam aspek penggemblengan karakter misalnya, Puasa Ramadhan merupakan momentum syahrul at-tarbiyah yang berarti bulan pendidikan yang mencakup tarbiyah jasadiyah, tarbiyah fikriyah dan tarbiyah qolbiyah. Kesemuanya itu dalam kerangka untuk meraih dan menyandang gelar sebagai “muttaqin”

Sebagai bulan at-tarbiyah, maka puasa Ramadhan memiliki atau mengandung beberapa instrumen pendidikan bagi ummat Islam, yakni ; Pertama, Ramadhan melatih, menggembleng dan mendidik ummat Islam menjadi insan yang taat terhadap perintah-perintah dan hukum-hukum Allah SWT secara totalitas. Dengan latihan selama sebulan penuh itu diharapkan, seorang muslim akan terus istiqomah dalam menjalankan hidup yang penuh ketaatan. Kedua, Ramadhan mengajarkan setiap ummat Islam untuk menundukkan hawa nafsu atau mampu mengendalikan dorongan hawa nafsu terhadap berbagai hal yang dapat membatalkan puasa. Dengan begitu, setelah menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh, seorang muslim diharapkan mampu “mengendalikan diri” dari berbagai dorongan hawa nafsu. Ketiga, bulan Ramadhan mendidik setiap ummat Islam untuk “berbagi” dengan sesama.

Dalam konteks ini, puasa memiliki dimensi sosial yang mengajarkan semangat untuk berinfak dan bersedekah, terutama kepada mereka yang berkekurangan. Dalam konteks lokal Gorontalo aspek ini disebut juga dengan upango potombulu yang menekankann pentingnya rasa simpatik kepada sesama manusia yang membutuhkan, saling bantu-membantu atau mengulurkan tangan bagi penderitaan orang lain. Keempat, Ramadhan mendidik kaum muslimin untuk menjaga hubungan silaturahmi, menumbuhkan kasih sayang dan rasa persatuan diantara sesama muslim. Kelima, bulan Ramadhan mendidik ummat muslim untuk menjadi insan yang bertakwa atau menjadi insan yang muttaqin, yakni menjalankan segala perintah-perintahNya dan meninggalkan segala larangan-laranganNya dengan penuh kesadaran dan kesabaran yang tinggi.

Dalam aspek yang lain, puasa Ramadhan mendidik ummat Islam tentang pentingnya kejujuran, kesabaran, disiplin sekaligus membimbing ummat Islam mampu mengendalikan diri (self control) dan mengatur atau berbenah diri sehingga menjadi insan yang terus mengalami perbaikan demi perbaikan (progresif), baik dari segi iman-Islam, sikap, kepribadian, akhlak dan sebagainya.

Karena bulan puasa merupakan syahrul at-tarbiyah, maka 1 syawal dapat dipandang sebagai “starting point” untuk memulai kehidupan baru, nuansa baru dan semangat baru untuk mengaplikasikan berbagai pengajaran selama puasa Ramadhan dalam kehidupan 11 bulan berikutnya. Itulah sesungguhnya yang disebut dengan gelar “muttaqin” itu, yakni menjadi insan yang bertakwa yang dalam segala aspek kehidupannya selalu bertumpu pada nilai-nilai Illahiyah, nilai-nilai ubudiyah dan nilai-nilai akhlaqiyah dalam kerangka mengukuhkan eksistensi kemanusiaan memperbaiki hubungan yang bersifat Hablun Minallah dan Hablun Minannas.

Hal itu sekaligus untuk menampik perspektif yang salah kaprah yang seakan menempatkan puasa identik dengan baju baru, perabot baru dan berbagai kesibukan lainnya yang menjauhkan umat Islam dari esensi perintah berpuasa. Fenomena yang jauh dari esensi berpuasa itu misalnya mulai menggejala pada sepuluh hari kedua puasa, dimana Masjid sudah mulai sepi, pasar, toko dan Mall yang justru sudah mulai ramai dan padat dengan pengunjung,kaum ibu tidak lagi sibuk beribadah maupun mengintensifkan dengan kegiatan keagamaan, justru mulai sibuk dengan berbagai urusan yang jauh dari esensi perintah berpuasa.

Itulah fenomena yang menggejala yang sejatinya menjadi instrumen bagi kita untuk membangkitkan ruang kesadaran bahwa selama ini umat Islam telah terseret jauh pada perspektif yang salah tentang puasa Ramadhan. Memang setelah menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh umat Islam disunahkan untuk merayakan hari raya Idul Fitri bersama keluarga dengan baju baru, nuansa baru, tapi tentu tidak melupakan substansi terhadap apa yang dirayakan.

Hari Raya Idul Fitri adalah momentum dimana setiap umat Islam kembali kepada fitrahnya seperti bayi yang baru dilahirkan, karena selama sebulan penuh is telah meraih Rahmat, magfirah dan pengampunan karena asbab telah menunaikan ibadah puasa dengan paripurna. Pertanyaannya, ketika ibadah puasa mulai goyah pada sepuluh hari kedua, ibadah sholat wajib dan sunat tidak lagi ditunaikan karena sudah sibuk dengan persiapan hari raya, lantas apa yang dirayakan?.

Oleh karena itu, yang penting menjadi catatan adalah ikhtiar jangan sampai setiap umat Islam terjebak pada aspek yang bersifat “seremonial” sehingga lupa pada “substansi”. Substansi puasa adalah sebagai Syahrul tarbiyah untuk menggapai gelar mutaqin yang menjadi pijakan hidup dalam 11 bulan berikutnya.

Semoga saja, fenemona masjid yang penuh sesak pada awal puasa Ramadhan akan tetap bertahan hingga di penghujung Ramadhan, tadarus Al-Quran dan bentuk ibadah wajib dan sunat lainnya tetap dijalankan secara Istiqomah. Dengan begitu, setiap kita mampu meraih substansi, hakekat dan esensi puasa yang sesungguhnya. Sikap bijak ummat Islam dalam konteks ini sangat penting, paling tidak, bagaimana menjaga keseimbangan antara yang esensial dan seremonial berjalan seiring dan sejalan. Baju baru atau perabot baru itu penting, tapi yang jauh lebih penting adalah, predikat manusia baru, komitmen baru dan tekad yang baru untuk menjadi insan yang mutaqin. Itulah hakekat puasa yang sesungguhnya. Semoga (***)

Exit mobile version