Perempuan di Titik Puncak

Fory Naway (foto Isal/tatiye.id).

Oleh:
Prof. Fory Armin Naway
Guru Besar UNG, Ketua ICMI dan Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo.

TATIYE.ID (GORONTALO) – Secara bahasa, istilah perempuan berasal dari bahasa Sansekerta ‘”Pu” atau “Empu” yang berarti hormat. Dalam istilah Bahasa Jawa Kuno, Empu’ artinya tuan, mulia atau yang dimuliakan dan dihormati. Dalam perkembangannya, istilah ini mengalami afiksasi dengan penambahan imbuhan ‘per; dan ‘an’ hingga menjadi perempuan. Oleh karena itu, istilah perempuan menjadi kata yang lebih cenderung digunakan, dibandingkan dengan kata “wanita” yang diserap dari Bahasa Jawa kuno “Vanita” yang berarti “diinginkan”.

Dari pemaknaan asal kata “perempuan” tersebut di atas, maka jelas istilah perempuan lebih mengandung nilai-nilai, pesan moral dan spirit bagi kaum perempuan sendiri untuk bangkit, bagi kaum pria agar lebih menghargai kaum perempuan, bahkan bagi institusi dan kebangsaan, dibandingkan dengan istilah “wanita” yang cenderung menggiring pada perspektif keindahan,kelembutan dan kemolekan.

Dari kata perempuan itu pula, maka tidaklah berlebihan, bila disebut bahwa perempuan sebenarnya berada pada “titik puncak” yang memiliki potensi besar, memiliki kelebihan dan keunggulan-keunggulan yang komparatif dan kompetitif dibandingkan dengan kaum pria. Kesimpulan ini juga, sangat relevan jika dikorelasikan dengan ajaran Islam yang semenjak 14 abad lalu, telah menempatkan kaum perempuan sebagai yang dimuliakan hingga diabadikan menjadi salah satu surah dalam Al-Quran, yakni An-Nissa.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Ade Latifa dan Fitranita dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dipublish oleh Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. 8 No.1 Tahun 2013, menyebutkan, bahwa kaum perempuan lebih survive dan mampu bertahan dalam kondisi apapun, termasuk perubahan iklim. Hasil peneltian ini sekaligus membantah anggapan selama ini yang cenderung memandang perempuan sebagai kaum yang lemah dan sangat rentan dengan berbagai perubahan dan tekanan-tekanan yang bersifat psikis maupun non psikis.

Lebih jauh lagi, hasil penelitian ini juga menjadi instrumen penting dalam kerangka “menakar kemampuan dan kapasitas kepemimpinan kaum perempuan” dalam ranah apapun, termasuk dalam dunia politik sekalipun. Mengapa kepemimpinan dan politik?, karena sejauh ini, meski gerakan kesetaraan gender terus bergaung, namun dalam realitasnya, komposisi kaum perempuan dalam pentas kepemimpinan dan politik di Indonesia, masih jauh dari harapan. Yakni masih dominan berada di tangan kaum pria.

Dalam kondisi yang demikian, maka kaum perempuan Indonesia saat ini dan ke depan, sejatinya bangkit memainkan peran strategis. Tidak hanya peran dalam membimbing, mengasuh dan mengurus keluarga, tapi lebih dari itu, kaum perempuan Indonesia memiliki potensi dan dapat berperan ganda di luar rumah sehingga dapat terlibat dalam keputusan-keputusan politik yang berorientasi pada kepentingan publik.

Hillari Clinton, mantan Ibu Negara Paman Syam yang juga pernah menjadi Senator Amerika Serikat pernah mengatakan, politik merupakan seni untuk mengolah kemungkinan-kemungkinan. Itu artinya, politik adalah sebuah seni untuk mewujudkan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Oleh karena itu, menurut Hillary Clinton, salah satu instrumen penting dalam mengolah kemungkinan tersebut, adalah melalui kampanye politik untuk mempengaruhi publik. Pada fase ini, kemampuan, taktik dan strategis menjadi simpul yang mesti diramu untuk merebut simpati publik.

Tidak hanya itu saja, dalam kerangka menapaki, menggapai dan mempertahankan eksistensi perempuan di titik puncak, terdapat beberapa aspek yang menjadi dasar pijakan bagi kaum perempuan, yakni ;

Pertama, kemampuan meyakinkan publik. Aspek ini sangat penting untuk menampilkan performance sebagai pemimpin yang bisa diandalkan, sosok yang bisa menjadi tumpuan dan harapan publik, bahkan menghadirkan performance sebagai figur yang memiliki solusi bagi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.

Kedua, kemampuan untuk mengeliminir kekhasan alamiahnya sebagai perempuan yang dipersepsikan sebagai kaum yang lemah. Akan sangat naif misalnya, bila dalam urusan-urusan kemasyarakatan, seorang pemimpin perempuan tanpa sadar mengesankan sebagai perempuan dengan type domestik yang terkadang mudah menyerah dan dengan entengnya memaklumkan kelemahannya sebagai seorang perempuan.

Ketiga, Karena perempuan memiliki daya tahan yang tinggi dan sanggup menghadapi tantangan dalam reli dam pertarugan panjang, maka seorang perempuan sejatinya membekali diri dengan kemampuan perspektif yang lebih komprehensif. Dalam aspek ini, perempuan bisa sangat sempurna dalam detil dan fokus sehingga dapat membekali diri dengan konsep manajerial beserta perangkat-perangkat penunjang lainnya.

Keempat, Perempuan di titik puncak adalah perempuan yang menyadari hakekat keberadaannya sebagai pemimpin, namun tidak melupakan peran domestiknya sebagai ibu rumah tangga, sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya.

Hal ini sangat penting untuk dimaknai oleh kaum perempuan di Indonesia untuk membangkitkan dan mengembalikan hakekat keberadaan perempuan yang tidak hanya melahirkan janin-janin manusia, kemudian berperan mengasuh, membimbing dan membesarkan seorang anak manusia, tapi juga memanusiakan dirinya, memanusiakan orang lain dan bergerak dalam kemanusiaan. Itulah sebabnya, kaum perempuan itu berada di titik puncak. Karena sesungguhnya perempuan dalam ranah apapun, sebenarnya memegang kendali kehidupan yang lebih dominan bagi kehidupan seorang anak manusia. Lihatlah dalam kehidupan keseharian kita, dari matahari terbit hingga matahari terbenam, para kaum perempuanlah yang lebih aktif berperan, bekerja dengan tangan dan hati yang penuh dengan kelembutan. Tidak heran, jika dalam sebuah hadistnya, Rasulullah SAW pernah bersabda : “Wanita adalah tiang negara, jika baik wanitanya maka baiklah negaranya dan jika rusak wanitanya maka rusak pula negaranya”.  Semoga.

Exit mobile version