Meruntuhkan Politik Uang

Dia pernah membuktikan politik uang bisa kalah dengan kepercayaan masyarakat juga politik silaturahmi.
Bahkan bisa dikatakan Ia adalah sejarah perpolitikan di Gorontalo, yang bisa meruntuhkan politik uang.
Penghujung Bulan April tahun 2009 silam sejarah itu Ia ukir dan mulai, namanya Elnino M. Husein Mohi, menduduki peringkat ketiga dari 19 Tokoh Gorontalo maju sebagai Calon Anggota DPD RI.
Masyarakat di Provinsi Gorontalo tentu tidak akan lupa dengan sejara itu. Perjuangan Elnino Mohi membawa harapan masyarakat, dengan dukungan murni sebanyak 46.464 ribu suara.
Kami dukung Elnino Mohi, bukan karena doy (uang.red). Karena lillahi ta’ala. Kalimat dukungan ini pun masih tersemat di benak masyarakat. Ada juga kalimat, Elnino pilihanku! biar tidak pakai doy (uang.red), Woto’to paralu (bahasa Gorontalo.red).
“Tidak satu orang pun, sejatinya, yang mau menjual suaranya. Tidak ada yang nuraninya memilih seseorang hanya karena sudah diberi sesuatu. Orang memilih seorang caleg atau calon pemimpin pasti bukan semata-mata karena uang, mesti ada alasan lain,” tutur Elnino.
Kalau pun ada seseorang memilih caleg A, yang telah memberinya uang, pilihan itu bukan karena semata-mata uangnya. Bisa jadi si Caleg A itu memang disayangi karena kebaikan hatinya, karena keramahannya, karena kecerdasannya, karena kejujurannya, yang semua itu telah diketahui oleh para pemilih.
Hanya saja, sekarang ini sebagian besar rakyat telah bersikap masa-bodo dan apatis terhadap “pesta demokrasi” ; Pemilu Legislatif, Pilkada, Pilkades, Pilpres.
Di mata sebagian besar rakyat, sebagai misal, wakilnya di parlemen tidak akan memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan mereka. Yang benar-benar nyata dan bisa dinikmati rakyat hanyalah ketika mereka membagi-bagikan uang, sembako, dll.
Tidak sedikit pula orang yang tidak tahu atau tidak mau tahu apa saja tugas dan kewenangan dari pejabat yang akan/telah dipilihnya. Bahkan ketika seorang bupati mencalonkan diri lagi, lalu membagikan bantuan sosial kepada masyarakat,
orang-orang mengira bantuan itu berasal dari kantong pribadi bupati—padahal dananya berasal dari APBD yang jelas merupakan uang milik rakyat. Nah, ketika masyarakat memilihnya lagi hanya dengan alasan “telah diberi bantuan”, itu berarti dia telah memilih dengan alasan yang tidak tepat.
“Sungguh, hakikat dari demokrasi-pemilihan adalah memaksimalkan kedaulatan rakyat untuk memilih orang yang akan menjadi pejabat yang bisa dipercaya untuk mengelola negara/daerah sesuai kewenangannya agar uang milik rakyat (APBN dan APBD) dapat benar-benar dikelola untuk memaslahatkan ummat masa kini dan ummat masa depan,” pungkasnya. (***)

Exit mobile version