MAGHFIRAH

Fory Naway, (foto Istimewa).

Oleh :
Prof. Fory Armin Naway
Guru Besar Universitas Negeri Gorontalo dan Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo

Tidak terasa kita umat Islam sudah berada pada sepuluh hari kedua di bulan suci Ramadhan. Jika pada sepuluh hari pertama bulan puasa disebut sebagai turunnya Rahmat Allah SWT bagi yang berpuasa, maka pada sepuluh hari kedua ini disebut sebagai syahrul maghfirah.

Secara bahasa, kata maghfirah artinya pengampunan yang memiliki akar kata “menutupi” atau “memaafkan”. Maghfirah juga diartikan sebagai hak Allah dalam memberikan perlindungan atau pengampunan terhadap hambaNya yang melakukan taubat.

Oleh karena itu bulan puasa merupakan momentum yang sejatinya dapat dimanfaatkan dengan sebaik-sebaiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, beribadah, bermuamalah dan beramal shaleh, memperbanyak zikir, membaca Al-Qur’an dan memperbaiki akhlak dengan sesama manusia.

Momentum bulan puasa dengan demikian, dapat dipandang sebagai sebuah karunia yang sangat berharga sehingga menjadi sebuah kerugian besar jika dilewatkan begitu saja. Melalui karunia dan fadhilah dari Allah SWT, terdapat wasilah dan jalan untuk mendapatkan ampunan, diantaranya: Pertama, Shauma Ramadhan (Berpuasa Ramadhan) yang disertai dengan keimanan dan ihtisaban yaitu keikhlasan kepada Allah, puasanya semata karena Allah bukan karena riya’ bukan karena menginginkan pujian dari manusia. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Bukhari)

Kedua, qama Ramadhan (qiyam Ramadhan) merupakan cara untuk meraih ampunan Allah SWT dengan mendirikan qiyam Ramadhan, shalat tarawih, shalat malam dan witir pada pada malam-malam bulan suci Ramadhan dengan syarat yang sama yaitu dengan keimanan dan ihtisaban karena Allah maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (shalat tarawih) atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni(HR. Muslim).

Ketiga, qiyam Ramadhan pada malam lailatul qadar. Yakni menyambut malam lailatul qadr dengan beritikaf, berzikir karena pada bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari beribadah seribu bulan. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan (penuh) keimanan dan pengharapan (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari & Muslim).

Merujuk pada Sabda Rasulullah SAW tersebut, maka syharul maghfirah merupakan ruang dan waktu bagi setiap hamba untuk bertaubat dengan taubatan nashuha. Seberapapun dosa yang pernah dilakukan, Allah pasti akan memberi ampunan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an “Katakanlah, hai hamba-hamba-Ku yang melampauli batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. Az-Zumar [39]: 53).

Juga Firman Allah yang artinya ; Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya sendiri, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. An-Nisa’ [4]: 110).

Itulah sebabnya, syahrul maghfirah disebut juga sebagai bahrul maghfirah yang berarti menggambarkan keluasan yang tidak terhingga terhadap ampunan Allah SWT terhadap dosa-dosa hamba-Nya seluas samudera yang luasnya tidak terhingga, apalagi ampunan yang diberikan Allah di bulan rRamadhan.

Dari sinilah sebenarnya, tidak ada alasan bagi umat Islam untuk meninggalkan atau melewatkan bulan Ramadhan ini begitu saja. Lagi pula, puasa Ramadhan tidak hanya menjadi wahana menggapai rahmat, maghfirah dan dibebaskan dari api neraka, tapi puasa Ramadhan membawa dampak bagi kehidupan seseorang, baik ditinjau dari aspek kesehatan, keberkahan hidup dan rezeki dan masih banyak lagi dimensi-dimensi ibadah di bulan suci Ramadhan yang mengandung begitu banyak hikmah di dalamnya.

Dari istilah qiyam Ramadhan dapat diperoleh gambaran, bahwa bulan ramdhan merupakan momentum untuk “bangkit”, bangun dari tidur yang selama ini terbuai dengan mimpi-mimpi yang bersifat keduniawian, untuk selanjutnya menyadari hakekat hidup yang sebenarnya. Dengan bangkit, bangun dan tersadar akan hakekat hidup yang sesungguhnya itulah, maka Ramadhan menjadi terminal untuk menghambakan diri, beribadah, melakukan tafakur, i’tikaf hingga meraih ampunan Allah SWT.

Itulah sebenar-benarnya orang yang mampu menggapai predikat kembali kepada fitrahnya yang suci seperti bayi yang baru lahir pada 1 Syawal yang dapat dimaknai sebagai “starting point” titik awal menjalani kehidupan yang lebih baik lagi dalam 11 bulan berikutnya.

Artinya, setelah bulan puasa berlalu bukan merasa diri “merdeka” untuk kembali bergelimang dengan perbuatan-perbuatan dosa, melainkan sebagai titik awal untuk memanfestasikan nilai-nilai ibadah Ramadhan dalam konteks hablun minallah dan hablun minanas.

Sebagai bulan yang berdimensi “syahrul at-tarbiyah, bulan puasa mengajarkan kepada setiap umat muslim untuk memaknai hakekat hidup yang sesungguhnya, bahwa siapapun kita akan kembali kepada Sang Khaliq dengan hanya membawa amalan-amalan shaleh, rahmat dan ridhaNya. Demikian juga sebagai ibadah yang berdimensi sosial, ibadah puasa menggembleng setiap umat Islam memiliki nurani kemanusiaan yang tinggi, berbagi dan memiliki sense of crisis terhadap sesama anak bangsa. Oleh karena itu, puasa Ramadhan tidak hanya sekadar dipandang sebagai “menggugurkan kewajiban” selama sebulan penuh, tapi lebih dari itu, puasa Ramadhan adalah momentum penting untuk mengukuhkan eksistensi “kehambaan” kepada Sang Khaliq dan eksistensi kemanusiaan yang darinya akan lahir pribadi yang berakhlakul qarimah. Semoga. (***)

Exit mobile version