TATIYE.ID (GORONTALO) – Belum lama ini lembaga adat Provinsi Gorontalo menemui Penjabat Gubernur Gorontalo, Ismail Pakaya guna menyampaikan laporan terkait kasus Bupati Gorontalo, Nelson Pomalingo (NP) bersama wanita bercadar.
Hasil pertemuan tersebut, Penjagub menyebut bahwa persoalan kasus NP adalah persoalan pribadi. Sebagai Penjagub, dirinya tidak ingin terlibat atau mencampuri urusan pribadi.
Atas pernyataan Penjagub itu, ketua lembaga adat Provinsi Gorontalo, AD Khaly mengatakan bahwa Penjagub gagal paham.
Hal ini mendapatkan sorotan dari ketua Lembaga Analisis dan Monitoring Produk Hukum (AMPUH) Provinsi Gorontalo, Fanly Katili.
“Sikap Gubernur Gorontalo Ismail Pakaya ini sebenarnya sangat bijak. Terhadap kasus bupati Nelson Pomalingo yang dilaporkan lembaga adat ini, sebenarnya Gubernur sangat memahami kepentingan yang ada dibalik langkah langkah komunikasi dan penetrasi elemen masyarakatnya, tidak saja DPRD, tokoh masyarakat dan LSM/Ormas, namun juga terhadap lembaga adat itu sendiri,” kata Fanly.
Fanly mengatakan, Penjagub Ismail memahami aturan yang menjamin hak hak sipil dan politik setiap orang. Sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 12 tahun 2005, pada pasal 17 dikatakan ‘tidak seorangpun yg dapat secara sewenang wenang atau secara sah dicampuri urusan urusan pribadinya, keluarga, rumah atau hubungan surat menyurat atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya’
“Namun sayangnya dalam menanggapi sikap Gubernur ini saya menduga pak A.D Khaly tak paham soal aturan, kekurangan referensi aturan dan mungkin lupa dalam menerapkan alur pengambilan keputusan dalam sidang kerapatan adat, sehingga menuding bahwa sikap Gubernur dianggap gagal paham,” ujar pria yang akrab dengan sapaan Fanka itu.
Fanka menyayangkan AD Khaly mengeluarkan pernyataan seperti itu. Ia menilai hal ini tidak akan terjadi jika ketua lembaga adat Provinsi Gorontalo paham aturan dan mekanisme tata cara pengambilan keputusan dalam peradilan kerapatan Adat.
“Karena hakekatnya sebagai ‘Olongia’ (Gubernur) kapasitas dalam kepengurusan itu seharusnya berkedudukan sebagai Pelindung. Sehingga sangat tidak elok seorang yang katanya ketua lembaga adat melontarkan kalimat yang sangat tidak mencerahkan rakyat. Mungkin pak A.D Khaly Lupa bahwa dalam Kedudukannya sebagai gubernur beliau Ismail Pakaya itu adalah ‘Ta’uwa’ yang secara absolut harusnya sebagai pemimpin (Kepala/Ketua) adat dalam level lembaga adat ditingkat provinsi,” ujar Fanka.
Adapun beberapa poin yang dipertanyakan Fanka:
1. Apakah laporan yang kemaren akan diserahkan ke gubernur oleh pak A.D Khaly sebagai Ketua Lembaga adat Gorontalo, sudah melalui tata cara dalam persidangan yang seharusnya diberlakukan dalam lembaga adat?
2. Dan apakah pada pengambilan keputusan lembaga adat yang menghasilkan laporan kepada gubernur tersebut sudah memberlakukan SOP pengambilan keputusan yang didalamnya wajib menghadirkan unsur unsur utama dalam sidang kerapatan adat?
Jika dalam pengambilan keputusan masalah kasus bupati nelson pomalingo oleh lembaga adat telah melaksanakan tahapan sebagaimana yang disebutkan diatas, maka kapan kira kira mekanisme pengambilan keputusan tersebut dilakukan sesuai tatanan adat Gorontalo?
“Saya Khawatir jangan sampai pak A.D Khaly justru terkesan yang ‘gagal paham’ dalam memahami tujuan dan sikap pak gubernur yang memilih netral dalam kasus bupati Nelson Pomalingo. Saya pikir, lembaga DPRD Kabupaten Gorontalo yang sampai dengan saat ini tidak melahirkan keputusan apapun tentang kasus tersebut cukuplah bagi Gubernur untuk jadi bahan rujukan bahwa tata pemerintahan di Kabupaten Gorontalo tetap berjalan sesuai dengan harapan masyarakat adat di Kabupaten Gorontalo,” tandas Fanka.