I’TIKAF

Oleh :
Prof. Fory Armin Naway
Guru Besar Universitas Negeri Gorontalo dan Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo

Pada sepuluh hari terakhir bulan puasa Ramadhan, umat Islam disunahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Salah satunya melalui I’tikaf di Masjid. Menurut riwayat, Baginda Nabi Muhamad SAW setiap 10 hari terakhir Ramadhan melaksanakan i’tikaf di Masjid. Diriwayatkan dari Aisyah yang artinya: “Bahwasanya Nabi SAW beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan sampai beliau dipanggil Allah Azza wa Jalla, kemudian istri-istri beliau (meneruskan) beri’tikaf setelah beliau wafat.” (HR.Muslim).

I’tikaf berasal dari bahasa Arab “akafa” yang berarti menetap, mengurung diri atau terhalangi. Dalam konteks ibadah dalam Islam, I’tikaf berarri berdiam diri di dalam masjid dalam rangka untuk mencari keridaan Allah dan bermuhasabah (introspeksi) atas perbuatan-perbuatannya. Orang yang sedang beriktikaf disebut juga sebagai “mu’takif”.

Keutamaan beri’tikaf di Masjid pada 10 hari terakhir Ramadhan, diantaranya karena pada fase ini, dibebaskannya seorang hamba dari api neraka. Selain itu, pada 10hari terakhir merupakan turunnya malam Lailatur Qadar, yakni malam di mana nilai ibadah seseorang sebanding dengan ibadah selama seribu bulan. Hal ini sama saja dengan ibadah hampir 100 tahun lamanya.

Dengan begitu dapat diperoleh gambaran yang jelas, bahwa 10 hari terakhir Ramadhan memberikan ruang yang besar bagi ummat Islam untuk istiqomah pada fase terakhir Ramadhan yang terkadang dirasakan semakin berat. Terutama “godaan” lingkungan yang sudah tidak kondusif lagi, godaan berbelanja ke Mall, sibuk dengan persiapan lebaran dan sebagainya.

Pada fase ini terkadang, ummat Islam jangankan “beri’tikaf, bahkan sudah banyak yang tidak lagi berpuasa karena berbagai alasan kesibukan dan kerja berat, termasuk “sibuk” persiapan Hari Raya. Dari sinilah terjadi kerancuan berpikir umumnya ummat Islam, yakni “meninggalkan yang substantif, mengejar yang seremonial”.

Logika berpikir yang sehat sejatinya, berpuasa dan jenis ibadah lainnya merupakan substansi yang utama. Sementara persiapan perayaan itu bersifat seremonial belaka. Perayaan Idul Fitri yang berarti kembali ke fitrah itu patut dirayakan jika puasa seseorang diterima, mendapat ampunan atau maghfirah. Namun, jika puasa saja bolong-bolong, lantas apa yang mau dirayakan?. Ibarat ujian di sekolah, yang berhak merayakan kelulusan adalah mereka yang mengikuti semua proses ujian dan dinyatakan lulus. Yang dinyatakan tidak lulus, tidak mungkin merayakannya.

Dalam konteks ini, pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, idealnya merupakan fase “berburu pahala”, bukan berburu barang-barang baru” yang sungguh bukan sesuatu yang sangat urgen dalam ibadah puasa. Sejatinya, pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, animo dan keramaian ummat menuju masjid seakan tak terbendung. Sayangnya, realitas berkata lain, justru mall, pasar dan pusat perbelanjaan lebih ramai dan lebih pada pengunjungnya dibandingkan dengan Masjid. Disnilah pentingnya kesadaran kolektif kita untuk mereposisi, merefleksi dan merenung kembali tentang hakekat puasa dan Idul fitri yang sesungguhnya.

Padahal, pada penghujung 10 hari terakhir puasa, adaah fase yang sangat penting dan menentukan. Terutama fase untuk menjemput “malam lailatul qadar”. Rasulullah SAW mengisyaratkan dalam sabdanya: “Carilah Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. ” (Muttafaqun ‘alaihi dari Aisyah radliyallahu ‘anha). Lebih khusus lagi, adalah malam-malam ganjil sebagaimana sabda beliau: “Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadan)”. (HR. Al-Bukhari dari Aisyah radliyallahu ‘anha).

Meski kepastian malam Lailatul qadar itu dirahasiakan oleh Allah SWT, namun menurut Imam Al-Ghazali dan juga ulama lainnya, sebagaimana disebut dalam I’anatut Thalibin juz 2, hal. 257, bahwa cara untuk mengetahui Lailatul Qadar bisa dilihat dari hari pertama dari bulan Ramadhan:
Jika awal Ramadhan jatuh pada hari Ahad atau Rabu, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-29
Jika awalnya jatuh pada hari Senin maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-21
Jika awalnya jatuh pada hari Selasa atau Jum’at maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-27
Jika awalnya jatuh pada hari Kamis maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-25
Jika awalnya jatuh pada hari Sabtu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-23

Berbeda dari keterangan di atas, dalam I’anatut Thalibin dalam halaman 258, kitab Hasyiah al-Bajury dalam juz pertama halaman 304, mencantumkan kaidah lain: Jika awal puasanya Jumat maka pada malam ke-29; jika Sabtu maka pada malam ke-21; jika Ahad maka pada malam ke-27; jika pada Senin maka pada malam ke-29; jika Selasa maka pada malam ke-25; jika Rabu maka pada malam ke-27; jika Kamis maka pada sepuluh akhir malam-malam ganjil).

Meski demikian, satu hal yang pasti bahwa menyepi, berdiam diri di Masjid, bertafakur, berdzikir dan berdoa pada 10 malam terakhir Ramadhan,merupakan bagian yang teramat penting dalam merajut kehidupan yang lebih baik. Berbagai persoalan yang mendera dalam hidup dan kehidupan ini, pada prinsipnya lebih disebabkan oleh hamba-hambaNya sendiri yang “jauh” dari sang Khalik.

Oleh karena itu, 10 hari terakhir Ramadhan kali ini menjadi momentum penting untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, minimal melakukan i’tikaf di Masjid, bermunajat dan memohon ampunan seraya mendapatkan keberkahan hidup dalam menatap masa depan yang lebih baik yang lebih mengutamakan akherat dari pada kesenangan dunia yang sementara.
Itulah petingnya i’tikaf, yakni hikmah pentingnya adalah, mengurangi rasa cinta dunia dan ketergantungan terhadap hal-hal duniawi, dan meningkatkan orientasi ukhrawi dalam diri seorang mukmin. Selain itu, melaksanakan i’tikaf menjadi bekal ruhani khusus untuk menjalani kehidupan pada masa-masa sesudahnya. Semoga

Exit mobile version