
Oleh:
Prof. Fory Armin Naway
Guru Besar UNG, Ketua ICMI dan Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo.
TATIYE.ID (KABGOR) – Dalam pergaulan sehari-hari, istilah ghibah sudah sangat dikenal sebagai sebuah tindakan atau perbuatan tercela dan perbuatan dosa yang sengaja atau tidak sengaja, terkadang banyak diantara kita yang terjebak di dalamnya. Dalam kehidupan bertetangga, di tengah-tengah keluarga sendiri, dengan sesama karyawan atau pegawai dan dalam berbagai komunitas kehidupan di manapun, ghibah menjadi sesuatu yang sering menggejala.
Akibat dan dampak dari ghibah akan menjadi salah satu pemicu terjadinya kerenggangan hubungan dengan sesama manusia, menjadi sumber konflik dan permusuhan, bahkan dapat memicu ketegangan sosial yang tidak konstruktif bagi terwujudnya tatanan kehidupan yang harmoni. Bahkan lebih dari itu, akibat merebaknya ghibah dapat menjadi penyebab seseorang menjadi depresi, kehilangan harga diri, dapat saja mengidap syndrom anti sosial, kehilangan rasa percaya diri dan dampak psikologi lainnya yang sangat tidak kondusif bagi kehidupan seseorang, masa depannya serta harkat dan martabat kemanusiaan.
Di sisi yang lain dan secara kudrati, manusia memiliki dua dimensi yang berbeda, yakni menyandang berbagai kelebihan dan kebaikan, tapi juga memiliki kelemahan-kelemahan atau kekurangan-kekurangan yang sejatinya dapat dimaknai secara bijak, bahwa dengan 2 dimensi kehidupan yang disandang itulah, maka siapapun rasanya, tidak memiliki kapasitas untuk menjustifikasi seseorang dengan predikat yang buruk.
Oleh karena itulah, dalam ajaran Islam, Ghibah termasuk perilaku yang dilaknat oleh Allah SWT. Hal ini bahkan tercantum dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhamad SAW. Allah berfirman dalam Surat An-Nur Ayat 19: “Siapapun gemar menceritakan atau menyebarluaskan kejelekan saudara Muslim kepada orang lain diancam dengan siksa yang pedih di dunia dan di akhirat.” Bahkan dalam Surat Al-Hujurat ayat 12, Allh SWT berfirman “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka buruk (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka buruk itu dosa. Dan janganlah sebagian kalian mencari-cari keburukan orang dan menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudanya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”.
Apalagi jika kemudian muatan materi yang digunjingkan itu, hanyalah sebuah fitnah yang bersifat agitatif, provokatif yang bersumber dari “niat jahat” lainnya untuk menjatuhkan harkat dan martabat seseorang, maka tidak ada ruang bagi siapapun yang memiliki akal sehat dan nurani yang cemerlang untuk masuk apalagi ikut berkomplot masuk ke dalam ranah itu.
Hal itu menjadi sebuah keniscayaan, karena dalam ranah kehidupan yang sesungguhnya tidak dapat dipungkiri, ada-ada saja yang mengidap “penyakit hati”, iri, dengki, dendam, ambisi, serakah, tamak dan sebagainya yang terkadang semua itu harus ia ekspresikan dengan menebar fitnah, menggunjing, menghasut dengan secara massif dan agitatif yang seakan-akan “moheyngo” dalam Bahasa Gorontalo, mengajak orang lain untuk ikut bersamanya agar orang yang menjadi obyek kebenciannya itu jatuh harkat dan martabatnya.
Itulah sebabnya, kebijaksanaan jiwa untuk senantiasa mawas diri dan berhati-hati, merupakan instrumen penting yang terus mengawal serta melekat dalam sanubari setiap kita. Bagaimanapun, dalam prakteknya terkadang banyak juga diantara kita yang secara tidak sadar terbawa arus dan akhirnya masuk dalam “komplotan” yang bisa saja terseret pada “pemufakatan jahat” untuk mendekonstruksi wibawa, harkat dan martabat orang lain.
Disitulah pentingnya ruang kesadaran, tenggang rasa atau perasaan timbal-balik itu dimanifestasikan dalam relung-relung jiwa agar terbebas dari arus yang dapat membawa kita pada perbuatan dosa. Apalagi dalam aspek kehidupan yang berdimensi akherat dimana semua orang akan menuju pada titik itu, bahwa dosa antar sesama manusia hanya bisa diampuni oleh Allah SWT sang Maha Pencipta, jika orang yang “dianiaya” itu telah ridha dan memaafkan.
Oleh karena itu, bagi mereka yang memiliki ruang kesadaran yang tinggi terhadap hal itu, sangat hati-hati dan takut menyakiti atau menganiaya orang lain, baik dalam bentuk fisik maupun psikis. Karena sesungguhnya, memohon ampun kepada Allah SWT sangatlah mudah, karena Allah menyandang “Maha Penyayang dan Maha Pengampun”, sementara manusia karena keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya terkadang memaafkan. Walaupun memaafkan, namun sulit melupakan.
Idealnya, setiap kita fokus dalam bekerja, berusaha dan berkiprah bagi kehidupan diri sendiri dan keluarga serta masa depan yang lebih progresif. Intinya adalah “mengurus diri sendiri jauh lebih baik daripada mengurus orang lain. Ketika membicarakan, ikut nimbrung dan ikut-ikutan membicarakan “keburukan” orang lain, maka lebih baik mengembangkan potensi kebaikan yang kita miliki. Itu jauh lebih baik dan prospektif.
Ketika kita membicarakan keburukan orang lain, apakah kita bebas dan tidak memiliki keburukan?. Ketika menggunjing orang lain, apakah kita bebas dari dosa dan kesalahan? Jangan sampai “kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”. Monumel akal sehat dengan demikian, menjadi aspek penting yang dapat menjadi fondasi bagi kita untuk mencegah diri terjebak dalam “mengurus kehidupan pribadi orang lain”. Apalagi dalam konteks Gorontalo dalam semua aspek kehidupan, kita masih memiliki banyak agenda mewujudkan kemajuan bersama. Di sisi yang lain, mentalitas “tutuhiya” atau saling menjatuhkan masih saja merebak di daerah ini yang semakin menambah “kompleksitas” Gorontalo.
Artinya, konsentrasi kita, daya pikir dan etos kerja kita sejatinya tertuju pada bagaimana kita bangkit, fokus bekerja untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Hal itu tentu bermula dari individu-individu, kemudian menjelma dalam kehidupan keluarga dan akhirnya terakumulasi secara sosial dalam kehidupan masyarakat Gorontalo secara keseluruhan. Memang rasanya, sulit untuk mengendalikan “cara berpikir” orang lain yang sering khilaf hingga tega menyakiti orang lain, mendzalimi, menganiaya dan turut berkomplot dalam menebar fitnah, menggunjig dan menggibah secara agitatif hanya karena dendam, iri hati dan dengki”. Namun paling tidak, ruang kesadaran kita tetap tertuju pada performance diri, fokus bekerja, mengembangkan kompetensi dan skill sehingga memiliki daya saing dalam dunia nyata, bukan fokus pada “dunia maya”. Semoga (***)