Genderang Pilgub Gorontalo Mulai Ditabuh (Funco Tanipu), Akademisi UNG.

PASCA pemilu, genderang politik kembali ditabuh. Walaupun tinta pemilu belum kering, namun politik Gorontalo terasa sangat dinamis.

GORONTALO (TC)-Walaupun Rusli Habibie-Idris Rahim masih menjabat sekitar 3 tahun lagi, namun sejak perhitungan perolehan suara pemilu usai, diskusi mengenai Pemilihan Gubernur telah dimulai dan digaungkan. Menghadapi Pemilihan Gubernur (nanti) tentu mulai banyak skenario, proyeksi hingga desain yang mulai diotak-atik. Pemilu (seperti tulisan saya sebelumnya) hanyalah starting point untuk menuju kursi Gubernur.

MENAKAR KANDIDAT

Di antara nama-nama yang beredar dan memiliki kans kuat untuk menjadi Gubernur, mulai disebut nama Idris Rahim, Rahmat Gobel, Roem Kono, Idah Syaidah, Syarif Mbuinga, Hamim Pou, Elnino, Marten Taha, Indra Yasin dan Tony Uloli dan Nelson Pomalingo. Dari kesekian nama diatas, semua memiliki plus-minus. Namun, karena masih beberapa tahun lagi, semua nama tersebut tentu akan menambal potensi “minus†dalam dirinya.

Idris Rahim adalah petahana hari ini. Sebagai mantan Sekretaris Daerah dan hampir dua periode menjabat sebagai Wakil Gubernur, Idris memiliki kans elektoral yang cukup kuat. Namun hingga hari ini, Idris belum memiliki kenderaan (partai politik) yang bisa mengusungnya ke kursi Gubernur.

Nama lain yang bisa disebut sebagai penantang adalah Rahmat Gobel (RG). RG dalam pemilu barusan telah membuktikan kekuatan elektoralnya dengan meraih 146.067 suara atau total suara Partai sejumlah 169.509. Selain RG, Nasdem juga memiliki kandidat kuat yakni Hamim Pou yang juga saat ini menjabat sebagai Ketua DPW Nasdem Gorontalo. Hamim dianggap sukses menaikkan perolehan suara Nasdem di Provinsi Gorontalo hingga 11.78 %. Namun, peluang Hamim tergantung apakah RG akan maju Gubernur atau tidak, sebab di internal Nasdem sendiri ada yang menginginkan agar RG bisa maju sebagai Gubernur Gorontalo. Hamim juga masih akan mengikuti kontestasi politik di Bone Bolango tahun 2020, dalam artian dia harus memenangkan terlebih dahulu kursi Bupati Bone Bolango untuk periode berikut. Begitu pula dengan RG, walaupun memiliki kans kuat untuk maju Gubernur, tetapi kans RG untuk menjadi wakil Gorontalo baik di pimpinan DPR RI ataupun di kabinet juga terbuka luas. Selain nama keduanya, Nasdem juga memiliki kader seperti Indra Yasin yang juga Bupati Gorontalo Utara. Indra telah memiliki basis elektoral yang cukup kuat karena sudah “berakar†di Gorut sejak 2008 bersama Rusli Habibie (RH).

Di internal Golkar sendiri, beberapa nama menjadi kandidat yang cukup kuat. Nama-nama itu antara lain adalah Idah Syaidah yang juga anggota DPR RI terpilih dengan perolehan suara sebesar 98.795 suara. Sebagai istri Gubernur Gorontalo, tentu kontestasi pemilu 2019 adalah tes awal legitimasi politik Idah Syahidah. Jika Idah lolos menjadi calon Gubernur nanti, tentu dalam semua kondisi dan cuaca, RH pasti akan mendukungnya habis-habisan.

Nama lain adalah Roem Kono (RK), walaupun tidak terpilih dalam pemilu barusan dengan jumlah perolehan suara sebanyak 69.587, namun dia masih memiliki basis politik di DPP Partai Golkar. Kandidat kuat lain adalah Syarif Mbuinga (SM) yang kini menjabat sebagai Bupati Pohuwato selama dua periode. SM pasca pemilu memiliki kepercayaan diri yang sangat kuat sebab berhasil menambah jumlah kursi Golkar di Pohuwato secara signifikan. Apalagi ditambah dengan selama ini belum ada wakil Gorontalo barat yang menduduki kursi Gubernur/Wakil Gubernur, sehingga kemungkinan besar basis Pohuwato-Boalemo akan lebih solid ke SM.

Nama lain adalah Marten Taha (MT), MT sebagai Walikota Gorontalo juga memiliki kans lumayan, basis politik di Kota Gorontalo menjadi instrumen elektoral dirinya untuk maju sebagai kandidat Gubernur nanti. Yang terakhir adalah Tony Uloli yang mantan Wakil Gubernur Gorontalo. Nama besar mantan Wakil Gubernur serta jaringan bisnis dan keluarga akan menjadi instrumen dirinya dalam meraih legitimasi menuju Botu.

Dalam tradisi Golkar, nama besar dan basis elektoral belum menjadi jaminan untuk bisa dicalonkan Golkar, sebab salah satu syarat awal adalah harus bisa meraih kursi Ketua DPD I Golkar pasca Rusli Habibie (RH). Sebab, walaupun mengalami penurunan jumlah kursi, namun Golkar tetap memimpin perolehan suara dalam pemilu barusan dengan jumlah 194.660 suara. Karena itu, siapa yang meraih kursi Ketua DPD I, maka dia sudah memiliki “separuh perahu†untuk pencalonan, hingga “separuh perahu†berikutnya nanti akan ditentukan oleh DPP Partai Golkar.

Dari partai lain seperti PPP, kemungkinan besar Nelson Pomalingo yang juga sebagai Ketua DPW PPP akan dimajukan sebagai calon Gubernur. Namun, hal ini belum menjadi syarat utama, sebab Nelson sendiri masih harus ikut pemilihan Bupati Kabupaten Gorontalo dan berupaya memenangkannya pada tahun depan. PPP di Gorontalo sendiri berhasil meraih 69.854 suara pada pemilu barusan.

Nama yang beredar lainnya adalah Elnino Mohi yang juga anggota DPR RI dengan perolehan suara 67.715 dari total perolehan suara partai sejumlah 87.948 suara. Kenaikan suara Elnino dalam tiga kali kontestasi ke Senayan adalah modal yang cukup kuat bagi dirinya untuk bisa menjadi kandidat Gubernur nanti. Apalagi, perolehan kursi Gerindra di Botu berhasil naik dari 1 kursi pada pemilu 2014 menjadi 4 kursi pada Pemilu 2019, ditambah dengan kenaikan jumlah kursi di beberapa kabupaten/kota se Gorontalo.

Pemilihan Gubernur nanti tentunya masih akan ditentukan oleh beberapa momentum politik seperti Pilkada di Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Tiga pilbup ini akan menentukan legitimasi politik bagi Syarief Mbuinga, Nelson Pomalingo dan Hamim Pou. Jika misalnya di Pohuwato, kandidat yang didukung Syarief hanya menang tipis, maka dipastikan menurunkan legitimasi Syarief kedepan. Apalagi kalau yang terpilih bukanlah orang yang didukung Syarif. Karena itu, Syarif tentu harus menentukan secara cermat siapa yang akan didukungnya kelak di Kabupaten Pohuwato untuk mengganti dirinya. Keadaan yang sama akan melanda Nelson dan Hamim, sebab jika misalnya keduanya hanya “menang tipis†di daerahnya masing-masing, tentu legitimasi ini akan menurunkan posisi tawarnya di kontestasi berikut. Sebab, posisi keduanya saat ini adalah petahana.

KESEIMBANGAN POLITIK

Menuju kontestasi nanti, ada dua hal yang perlu menjadi perhatian serius. Pertama, praktis ada perubahan peta yang cukup dinamis di politik lokal Gorontalo. Kehadiran Rahmat Gobel menjadi penting untuk dimasukkan menjadi faktor. RG kini menjadi semacam godfathers bagi Nasdem dan elit-kadernya. RG berada pada posisi yang melampaui organisasi partai itu sendiri. Positifnya, RG mampu mengelola friksi di internal partai itu sendiri. Kemampuan itu yang “mendinginkan†Nasdem Gorontalo untuk “sementara waktuâ€Â. Artinya bahwa perolehan suara Nasdem yang signifikan di Gorontalo belum menjadi fondasi yang kuat bagi Nasdem untuk stabil dalam pengelolaan organisasi secara internal, sebab masih ada faktor legitimasi personal yang kuat (dalam hal ini RG) dibandingkan dengan kemampuan organisasi secara mandiri dalam merawat soliditas internal dan arah perjuangan partai.

Dalam konteks yang lain, jika dulu posisi RG hanya memiliki basis sosial (Tauwa) yang kuat, namun kini legitimasinya ditambah dengan legitimasi politik-elektoral yang kuat. Perpaduan inilah yang akan menjadi palang penyeimbang bagi power Rusli Habibie sebagai elit yang memiliki triple-power ; Gubernur, Ketua DPD I Golkar dan Tauwa. Dalam konteks penguatan demokrasi di Gorontalo, penyeimbangan kekuasaan oleh RG terhadap kekuasaan RH akan menjadi menarik.

Peta ini akan semakin melapangkan kondisi Gorontalo nanti dalam dua kubu koalisi yang sama-sama akan saling memperkuat diri dan mencari afiliasi dengan partai lainnya. Kedua kubu dalam kontestasi Pilgub nanti akan dikomandani oleh RG dalam satu kubu dan RH pada kubu lainnya. Kenapa tidak ada kubu lain, sebab elit yang berada diluar RG dan RH belum memiliki level of confidence yang cukup kuat untuk berdiri menjadi kubu sendiri.

Kedua, penguatan kubu politik berbasis elit ini tentu akan semakin meninggalkan ikhtiar awal dalam memperkuat demokrasi, yakni memperkuat ideologi dan basis politik partai. Sebab, kontestasi elit di Gorontalo tidak serta merta ikut memperkuat partai politik dalam konteks kelembagaan, masing-masing elit politik cenderung memperkuat partai hanya sebagai basis legitimasi bagi diri elit tersebut. Hal ini terlihat jelas dalam pemilu barusan, kenaikan jumlah pemilih dalam partai tertentu bukan didasari karena ideologi yang melekat pada partai tersebut, namun lebih karena tarikan elit yang ada di partai tersebut. Oleh karena itu, selain memperkuat basis sosial-politik elit, penting pula untuk dipikirkan dan dipertimbangkan model double-track strategy yakni melakukan penguatan identitas kepartaian dan mengembalikan kembali kedaulatan kelembagaan organisasi kepartaian dalam kondisi yang ideal, bukan sebagai “perahuâ€Â, “pengusung†apalagi hanya sebagai ornamen politik. Juga perlu lebih memperhatikan pola rekrutmen kader baru baik dari kampus, organisasi kemahasiswaan, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi masyarakat sipil yang memiliki barisan kader yang lebih bisa diandalkan dalam memperkuat partai politik secara kelembagaan. Sehingga, dalam rangka politik pertarungan (contentious politics) menuju Pilgub, perspektif penguatan demokrasi melalui penguatan kelembagaan partai juga tidak terabaikan dan kualitas demokrasi bisa seimbang, bukan hanya berat pada kontestasi elit semata.

Sebagai penutup, gambaran kontestasi sengit elit diatas adalah kondisi riil politik Gorontalo hari ini. Dalam konteks merawat nilai-nilai politik untuk kebaikan yang nantinya akan diwariskan kepada anak cucu Gorontalo di masa akan datang, tentunya jika ada elit yang memilih perspektif menjadi “homo homini lupus†dalam kiprah politiknya, sudah saatnya perlu melakukan refleksi secara mendalam soal tabiat ini. Sebab, perlu bagi elit Gorontalo untuk lebih mencari titik temu dibandingkan titik beda, dari titik temu inilah jalan keluar bagi semua problem Gorontalo akan segera bisa didapatkan. Karena bagaimanapun politik itu adalah siasat hal mengelola demokrasi untuk kesejahteraan. Jika output dari demokrasi bukan kesejahteraan, dan malah hanya pertikaian dalam perspektif “homo homini lupusâ€Â, maka cita-cita luhur demokrasi tentu akan semakin tidak terjangkau dan tercapai. (*)

Exit mobile version